Partai Buruh Sebut Aturan Hanya Parpol Pemilik Kursi DPRD Berhak Usung Paslon di Pilkada Tak Adil

Ilustrasi Pilkada
Sumber :
  • vstory

Jakarta - Partai Buruh menyatakan bakal menggugat aturan pencalonan Pilkada. Pasalnya, Ketua Tim Khusus Pilkada Partai Buruh, Said Salahudin mengatakan, partainya menilai aturan hanya parpol pemilik kursi DPRD yang berhak mengusung paslon di pilkada itu inkonstitusional.

Kaleidoskop Pilkada 2024: Gelombang Demo efek DPR vs MK, Anies Gagal Berlayar, PDIP Takluk di Kandang

"Aturan itu sudah pernah dibatalkan MK," kata Salahudin kepada awak media, dikutip Senin, 13 Mei 2024.

Ilustrasi Pemilu 2024.

Photo :
  • VIVA
PTUN Banjarbaru Tolak Gugatan Sengketa Pilkada

Ia lebih jauh mengatakan bahwa pembatasan hak bagi parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD untuk mengusulkan pasangan calon di pilkada sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) jelas bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu, misalnya, menyatakan, “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Pilgub Bali 2024 Diperkirakan Habiskan Rp70 Miliar, KPU: Kali Ini Sangat Murah

"Aturan itu jelas tidak adil. Setiap parpol yang memperoleh suara pada pemilihan umum anggota DPRD tahun 2024, baik yang memperoleh kursi DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi DPRD seharusnya diberikan hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon," kata Salahudin.

Dia juga menukil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah lama berlaku. Berdasarkan Putusan MK tersebut, maka sejak pilkada langsung digelar untuk pertama kalinya di tahun 2005 semua parpol diperbolehkan mengusulkan pasangan calon termasuk untuk parpol yang tidak mempunyai kursi DPRD, sepanjang parpol/gabungan parpol bisa mengumpulkan akumulasi suara sah sesuai persyaratan yang ditetapkan undang-undang.

Lagipula, lanjut Salahudin, dalam aturan pilkada yang tidak serentak mulai tahun 2005-2013, syarat pengusulan paslon dengan menggunakan perolehan suara ditentukan minimal 15 persen. Maka pada masa itu semua parpol non-seat pun bisa ikut mengusulkan paslon di pilkada dengan cara berkoalisi.

Sejak ditetapkan aturan pilkada serentak dengan skema peralihan (transitional provision) mulai 2015-2020, terjadi setidaknya dua perubahan aturan. Pertama, ambang batas (threshold) pengusulan paslon dengan menggunakan perolehan suara angkanya dinaikan dari 15 menjadi 25 persen.

Kedua, aturan tentang parpol yang diberikan hak untuk mengusulkan paslon pun diubah. Jika sebelumnya berdasarkan Putusan MK semua parpol yang memperoleh suara sah di pemilu boleh mengusulkan paslon, namun sekarang hak itu dibatasi hanya untuk parpol yang mempunyai kursi DPRD saja.

Menurut Salahudin, seharusnya, Pembentuk Undang-Undang Pilkada Serentak tidak boleh memuat norma yang substansinya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dulu, MK mengatakan, kata “atau” pada ketentuan syarat pengusulan paslon menggunakan kursi “atau” menggunakan suara harus dimaknai sebagai alternatif diantara dua pilihan. Kalau parpol/gabungan parpol mau mengusung paslon dengan menggunakan kursi DPRD, silahkan. Kalau mau mengusung dengan menggunakan perolehan suara pun diperbolehkan. Instrumen tersebut berlaku bagi parpol yang memiliki kursi maupun parpol yang tidak punya kursi DPRD.

Ilustrasi surat suara di pemilu

Photo :
  • vstory

Lebih lanjut, Salahudin mengatakan, kata “atau” menurut MK juga harus dimaknai sebagai sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi yang memungkinkan paslon yang diusung oleh partai yang tidak memiliki kursi di DPRD bisa ikut serta dalam Pilkada.

Karena itu, ditegaskan Salahudin, Partai Buruh bakal mendorong KPU RI untuk menerbitkan aturan pencalonan di Pilkada 2024 dengan mendasari pada Putusan MK tahun 2025. Untuk menghindari keragu-raguan KPU, maka Partai Buruh juga akan mengajukan permohonan uji materi Pasal 40 ayat 30 UU Pilkada ke MK.

"Materi permohonan ke MK sudah kami siapkan, tinggal menunggu beberapa pemohon tambahan dari perorangan bakal calon Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang akan bersama-sama Partai Buruh menjadi Pemohon di MK," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya