Pakar Ragukan Ide Presidential Club Prabowo: Ada Tembok Tebal yang Susah Diterabas
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Ide Presiden RI terpilih Prabowo Subianto yang ingin membentuk presidential club dinilai sulit bisa terealisasi. Keinginan Prabowo itu ditafsirkan sebagai upaya mendamaikan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden RI saat ini, Joko Widodo alias Jokowi.
Pakar politik Adi Prayitno menganalisa pembentukan presidential club sepertinya sulit dan terkesan malah dibikin ribet. Dia menyoroti belum cairnya komunikasi antara SBY dengan Megawati pasca Pilpres 2004.
Menurut dia, SBY dengan Megawati secara psikologi dan mazhab politiknya selama hampir 25 tahun tak bertemu. Namun, bagi dia kesalahan politik SBY terhadap Megawati di 2004 tak terlampau parah. Berbeda dengan Jokowi ke Megawati yang dinilainya lebih parah.
"Jokowi dengan Megawati saya kira level kesalahan politiknya lebih parah dari SBY. Kalau SBY dan Megawati saja 25 tahun tak bisa berjumpa. Apalagi Jokowi dengan Megawati? Mungkin dua kali lipat, 50 tahun butuhnya," kata Adi dalam Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne yang dikutip VIVA pada Senin malam, 6 Mei 2024.
Dia mengatakan demikian karena dinilai sebagai logika politik yang sederhana. Dia setuju dengan omongan politikus PDIP Masinton Pasaribu bahwa ide presidential club tak menyelesaikan masalah. "Ya jangan lampau dibikin ribet," lanjut Adi.
Adi akui meski tak menyelesaikan persoalan tapi pandangan publik jika mantan Presiden berkumpul dan ngobrol akan enak dipandang mata. Namun, ia menekankan tak mudah merealisasikan ide tersebut.
"Memang rumitnya ini kan mempertemukan antar mantan-mantan Presiden secara umum. Menurut saya bukan perkara gampang. Butuh energi, butuh stamina," ujar bos lembaga survei Parameter Politik Indonesia (PPI) tersebut.
Meski di sisi lain, ia tak menafikan figur Prabowo punya success stories karena mampu mempertemukan begitu banyak pihak yang selama ini berseberangan.
"Siapa tahu Prabowo setelah jadi Presiden ini nanti bisa menjadi bridging. Dan, ini bisa terealisasi," tutur Adi.
Lebih lanjut, Adi mengingatkan dalam politik islah bisa saja hanya terlihat di level elite. Namun, belum selesai di level bawah. Bagi dia, jika mau bicara jujur saat ini level bawah itu malah komentarnya berbeda-beda menyikapi usulan dibentuknya presidential club.
"Untuk apa bertemu dengan seorang yang dinilai berkhianat. Untuk apa bertemu dengan orang yang hatinya tidak pernah terbuka dengan yang lain," kata Adi mengibaratkan penolakan usulan itu.
"Misalnya kader-kader PDIP itu gak mau Megawati bertemu Jokowi. Sampai saat ini pun mereka galak dan agresif," jelas Adi.
Menurut dia, kondisi itu seperti ada penghalang yang sulit mewujudkannya. Sebab, penghalang itu bukan hanya sekadar psikologi politik.
"Bukan psikologi, tapi ada tembok tebal yang susah diterebas," kata Adi.
"Bagi saya bagus ini idenya tapi utopis. Utopis itu adalah agak sesuatu yang mustahil," sebut Adi.