Pilkada 2024 Jadi Momentum Golkar Jaring Tokoh Kharismatik

Ilustrasi logo parpol peserta Pemilu 2024.
Sumber :
  • Dok. VIVA

Jakarta - Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG), Arief Budiman menilai kesuksesan Partai Golkar di Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 membuka peluang untuk menjuarai pemilu selanjutnya. Peluang itu termasuk Golkar untuk memenangkan Pilpres mendatang.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Dia juga menilai peningkatan suara partai Golkar yang mencapai 5,9 juta suara menunjukkan tren ke arah positif.

“Suara partai berlambang beringin hampir mendekati raihannya ketika memenangi Pemilu 2004. Saat itu, Golkar meraih 24.480.757 suara yang berhasil dikonversi menjadi 127 kursi di DPR,” kata Arief dalam keterangannya, Senin, 6 Mei 2024.

Sibuk Politik, 2024 Jadi Tahun yang Penuh Guncangan bagi Krisdayanti

Menurut dia, pencapaian tersebut juga menunjukkan ketangguhan institusi Golkar sebagai partai. Ia menilai Partai Golkar tak goyah meskipun sepanjang era reformasi berbagai upaya demoralisasi dan deinstitusionalisasi dilakukan pelbagai pihak terhadap Golkar.

Meriah, Penutupan Munaslub Partai Golkar. (Ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarok A
Jokowi Tanpa Partai dan Diisukan Gabung Golkar, Bahlil: Kami Selalu Terbuka kepada Siapa Saja

Ia menyinggung momen saat Presiden Abdurrahman Wahid berencana membubarkan Golkar melalui dekritnya. Lalu, perlawanan kencang kelompok pro-reformasi di akar rumput yang melabeli Golkar sebagai partai Orde Baru.

“Bukan berarti tidak ada dampak politik terhadap Golkar. Terbukti suara mereka menurun. Namun, bagaimanapun, Golkar tetap bisa selalu finish di tiga besar,” jelas Arief.

Arief pun mengatakan resiliensi Golkar juga dipengaruhi kemapanan institusinya yang membuat mereka lekas mampu beradaptasi dengan era reformasi. Hal ini pula yang kemudian jadi jalan kesuksesannya di Pileg 2024.

Dia menyebut strategi Golkar di Pileg 2024 sebagai politik kredit-debit. Hal itu dengan modal genetik kemapanan institusional, Golkar mengkalkulasi setiap langkahnya dengan cermat untuk mengonversi setiap cost yang selama ini dianggap sebagai liabilitas menjadi keuntungan politik.

Ia menilai strategi politik kredit-debit membuat Golkar lebih luwes melangkah di pemilu. "Mereka tak ragu mengambil risiko atau ongkos politik, selama dalam perhitungannya akan mendatangkan keuntungan lebih besar," ujar Arief.

“Golkar berani tetap menjaga dan memupuk faksionalisme di internalnya di tengah risiko perpecahan tak berkesudahan yang bisa memporak-porandakan organisasi," tuturnya.

Dia menyebut Golkar juga buka diri terhadap caleg-caleg yang terafiliasi dinasti politik di tengah sentimen negatif terhadap praktik politik dinasti. "Yang sekaligus sebetulnya berpeluang mengingatkan publik pada sejarahnya sebagai parpol Orde Baru,” ujarnya.

Arief mengatakan Golkar punya sifat dasar parpol pragmatis. Meskipun, kata dia, pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, Golkar lebih berhati-hati memainkannya.

“Mengingat, bagaimanapun sebagian besar dari kunci sukses politik adalah tentang kecermatan membaca momentum. Dan, hasil Golkar di Pemilu 2024 membuktikan strategi mereka diterapkan dalam momentum yang tepat,” jelas Arief.

Meski demikian, menurut Arief, kebangkitan Golkar tetap punya tantangan untuk meraih kemenangan absolut di pemilu selanjutnya. Golkar, kata dia, bisa menjuarai Pileg 2029, tapi akan kesulitan memenangi Pilpres jika belum mampu hadirkan sosok kharismatik berkaliber nasional.

Maka itu, penting bagi Golkar segera menemukan sosok kharismatik yang dipersiapkan secara khusus menyongsong Pilkada 2024 yang berlangsung pada November nanti, bisa jadi salah satu alat penyaringan.

“Mengingat tren kepemimpinan nasional sedang mengarah kepada sosok yang memiliki rekam jejak politik sebagai kepala daerah. Setidaknya dalam tiga pemilu terakhir yang mayoritas kandidat adalah mantan kepala daerah,” ujar Arief.

Selain itu, Golkar perlu kembali jaring sosok dari kalangan teknokrat yang pernah menjadi nilai jualnya di masa lalu. Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai kembali pula mengarah ke pembangunan fisik dan industri. Bukan seperti awal era reformasi yang cenderung ke arah pembangunan politik.

“Tantangan tersebut bisa jadi sangat berat bagi Golkar. Setidaknya bila melihat sosok politikus kaliber nasional mereka yang bercokol hari ini mayoritas adalah dari kalangan aktivis, bila tidak terkait trah dinasti,” kata Arief.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya