PDIP Harus Ambil Langkah Taktis jadi Oposisi Prabowo, Jangan Tersandera Hak Angket
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - PDI Perjuangan (PDIP) disarankan segera mengambil langkah strategis untuk mengamankan posisinya yang saat ini sedang berada di persimpangan jalan. PDIP dinilai masih terbuka dalam usaha kuasa meskipun gagal memenangi Pilpres 2024.
Demikian analisa yang disampaikan pengamat Political Strategy Group, Arief Budiman. Menurut dia, partai yang dipimpin Megawati Sukarnoputri itu masih memenangi Pileg 2024 dan terbuka lebar menjadi Ketua DPR RI.
“Bila menilik kembali sejarah perjalanan politik PDI Perjuangan sejak pemilu 1999 sampai saat ini, parlemen adalah salah satu sumber kekuatan sekaligus batu sandungan utamanya,” kata Arief, dalam keterangannya, Kamis, 18 April 2024.
Arief mencontohkan di Pemilu 1999, saat PDIP untuk pertama kali jadi peserta tapi mampu menjadi jawara. Namun, di saat yang sama, gagal menjadikan Megawati sebagai Presiden RI lantaran terganjal manuver Koalisi Poros Tengah yang mengusung Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
“Begitupun ketika dua periode rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDI Perjuangan yang masih bertengger dalam 3 besar parpol pemenang Pileg 2004 dan 2009, terbukti mampu menggalang kekuatan di parlemen dan menjadi pimpinan parpol oposisi," jelasnya.
Lebih lanjut, Arief menuturkan format oposisi yang dijalankan PDIP dengan mengkritisi secara serius kebijakan era SBY yang tak pro rakyat. Selain itu, memberikan saran kebijakan alternatif lewat parlemen DPR.
Dengan cara itu, mampu meningkatkan marwah politik PDIP di mata rakyat. Ketika itu, PDIP menjelma partai wong cilik yang kemudian berujung kemenangan di Pilpres dan Pileg 2014.
“Oleh karena itu, secara kalkulasi politik, menjaga dan memastikan kursi Ketua DPR yang saat ini di atas kertas sudah milik PDI Perjuangan, adalah lebih masuk akal," tuturnya.
"Ketimbang ngotot mengajukan hak angket yang secara kalkulasi justru tampak impulsif dan berpeluang merugikan PDI Perjuangan,” lanjut Arief.
Arief berkata fitrah hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 adalah politik. Sementara, kalkulasi politiknya jauh panggang dari api.
Dia mengatakan seperti itu karena proses hak angket yang panjang juga ada pragmatisme parpol lain. Menurut dia, kondisi pragmatisme parpol lain itu berpeluang membuat hak angket gembos di tengah jalan. Dikhawatirkan PDIP nanti berjalan sendirian.
“Apalagi PDI Perjuangan praktis tak punya rekan koalisi di parlemen, usai PPP tak lolos ke Senayan. Hanya dengan 110 kursi, mereka akan menjadi minoritas. Ketika parpol pendukung Anies-Muhaimin tampak setengah hati mendorong hak angket,” tutur Arief.
Pun, dia menyinggung ada manuver parpol-parpol lain yang menjadikan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sehingga buka peluang mereka menempati pimpinan DPR. Menurut dia, hal itu diindikasikan sebagai tawaran imbal balik kepada PDIP untuk meloloskan usulan hak angket.
Namun, menurut dia, sangat mungkin sebelum proses hak angket selesai, parpol-parpol lain berbalik arah usai UU MD3 direvisi.
“Sebaliknya, mempertahankan UU MD3 dan secara otomatis kursi Ketua DPR, akan membuat PDI Perjuangan bisa lebih taktis melangkah sebagai oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Arief.
Dia menambahkan PDIP bisa fokus sebagai oposisi bukan pada program-program pemerintahan eksekutif. Namun, ia menyebut upaya itu dengan penguatan hukum dan demokrasi.
"Mengingat, dua hal tersebut yang kini menjadi sorotan utama publik kepada jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran nanti,” ujarnya.
Dengan begitu, PDIP tak akan secara langsung bersinggungan dengan program pemerintahan Prabowo-Gibran yang berpotensi melanjutkan rezim Jokowi. Jika PDIP bisa seperti itu maka dari sisi politik pun tetap bisa mendulang untung seandainya program warisan era Jokowi berhasil.
Kemudian, menurut dia, PDIP juga bisa mendorong keterbukaan pelaksanaan pengelolaan program-program tersebut. Misalnya, dengan mendorong kembalinya hak DPR membahas satuan tiga anggaran program pemerintah.
“Hal ini akan menjustifikasi PDI Perjuangan tetap memaksimalkan fungsi kontrol parlemen terhadap eksekutif,” kata Arief.
Lebih lanjut, Arief menuturkan langkah strategis lain yang bisa dimaksimalkan PDIP adalah peremajaan ideologi partai. Dia menyebut ideologi marhaenisme Sukarno terbukti selama ini mampu menjaga basis akar rumput pemilih PDIP. Namun, saat ini mulai kurang digandrungi anak muda sebagai basis pemilih masa depan.
“Maka, reaktualisasi dan peremajaan ideologi partai perlu untuk segera dilakukan. Khususnya dengan mempertimbangkan kebutuhan pemilih muda,” kata Arief.
“Semestinya langkah ini tak sulit dilakukan, mengingat semangat marhaenisme sejalan dengan pandangan pemilih muda tentang yang baik dan buruk dari politik,” lanjut Arief.
Arief pun merujuk survei Katadata Insight Center (KIC) yang menemukan pemilih muda cenderung menganggap korupsi, kekuasaan, dan politik uang sebagai hal buruk dalam politik. Ketiganya sejalan dengan keinginan marhaenisme menghilangkan penindasan, pemerasan, dan pengisapan yang menghalau terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Lalu, para pemilih muda menganggap hal baik dalam politik adalah demokrasi, mensejahterakan rakyat, dan Indonesia maju. Bagi dia, tiga hal yang juga sejalan dengan tujuan marhaenisme mewujudkan kemerdekaan nasional yang maju dan demokratis secara ekonomi dan politik.
“Dalam praktiknya, penting bagi PDI Perjuangan memanfaatkan media sosial dan medium internet lainnya secara maksimal. Terutama dalam melakukan komunikasi dua arah guna menunjukkan kedekatan marhaenisme dengan konstituen muda, yang ironisnya tampak belum mampu dilakukan PDI Perjuangan,” kata Arief.
Dengan demikian, ia menekankan kekalahan di Pilpres 2024 tak menjadi akhir usaha kuasa PDIP. Namun, sebaliknya masa depan politik yang lebih cerah dan posisi strategisnya sebagai oposisi dan parpol wong cilik serta penjaga demokrasi akan semakin kuat.