Politisi PDIP Heran: Sejak Kapan Hak Angket Menjadi Drama yang Menakutkan?
Jakarta - Politisi PDIP, Deddy Sitorus, mengaku tidak perlu takut dengan usulan pihaknya untuk menggulirkan hak angket DPR RI terkait pelaksanaan Pemilu 2024. Apalagi dianggap sebagai suatu yang menakutkan. Deddy menjelaskan, hak angket sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak zaman pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Deddy, pada tahun 1950-an, ada hak angket tentang penggunaan devisa yang diajukan saat pemerintahan Presiden Soekarno. Pada zaman Presiden Soeharto, ada hak angket tentang Pertamina. Begitu pula zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ada hak angket tentang Bulog Gate dan Brunei Gate. Selanjutnya, di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ada hak angket tentang Dana Non Budgeter Bulog.
Sementara itu, di era Presiden SBY tercatat ada banyak hak angket yang dilakukan DPR, antara lain hak angket tentang Pertamina, hak angket impor beras, hak angket penyelesaian kasus BLBI, hak angket DPT Pemilu Tahun 2009, hak angket Bank Century, serta hak angket tentang KPK pada tahun 2017.
"Jadi saya bingung sejak kapan hak angket menjadi drama yang menakutkan? Dalam sejarah bangsa ini dari zaman Bung Karno sudah ada hak angket tentang penggunaan devisa, itu tahun 50-an. Tapi sekarang ada framing seolah-olah hak angket ini sesuatu yang salah, bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan nalar publik, dan sesuatu yang haram," kata Deddy dalam dalam acara Indonesia Lawyers Club, dikutip Jumat, 1 Maret 2024.
Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, itu juga mengatakan hak angket tentang penyelenggaraan Pemilu 2024 seharusnya tidak mendapat penolakan oleh partai peserta pemilu, bahkan pasangan calon (paslon) di Pilpres 2024.
Hal itu, kata dia, disebabkan penyelenggaraan Pemilu 2024 menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat terkait berbagai kejanggalan dan kecurangan yang terjadi. Kejanggalan itu menurutnya mudah diketahui melalui media sosial dan media mainstream tanpa perlu melakukan investigasi.
Berbagai kecurangan itu, antara lain terkait politisasi bansos, money politic, pengerahan aparat, intimidasi, quick count, hingga Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang error.
"Pertanyaan-pertanyaan ini yang membutuhkan hak angket agar bisa menyelidiki dan membuka persoalan. Mempercakapkan masalah ini dalam forum DPR melalui hak angket adalah hal yang konstitusional, meskipun saat ini yang sangat gerah justru orang yang di-framing menjadi pemenang pemilu," ujarnya.
Selain itu, ia juga menyebut adanya upaya menggemboskan hak angket dengan ancaman individu. Hal itu merupakan praktik yang kerap dilakukan saat pemerintahan Orde Baru. Di mana siapa pun yang tidak sejalan dengan Presiden Soeharto, akan diinjak atau dihilangkan.
Padahal, lanjutnya, hak angket bukan soal siapa yang menang, berapa suara yang diperoleh. Melainkan tentang bagaimana pemerintah atau penguasa bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia.
"Harus dicatat belum ada hasil pemilu yang sudah ditetapkan KPU, sehingga jangan anti dulu ketika hak angket ini diajukan untuk membongkar soal berbagai dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu," tuturnya.