Pilkada Serentak Harus November 2024 Tidak Boleh Berubah, Hasil Putusan MK
- ANTARA
Jakarta – Mahkamah Konstitusi mewanti-wanti pemerintah dan DPR RI, tidak mengubah lagi jadwal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Hal itu sebagaimana diatur dalam UU Pilkada, yakni Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Diketahui, dalam pasal itu dinyatakan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Demikian disampaikan Majelis MK dalam putusan perkara Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang sudah dibacakan dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis, 29 Februari 2024.
Perkara ini merupakan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada yang diajukan dua orang mahasiswa, yakni Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan.
"Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada Serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai. Artinya, mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak," kata Hakim MK, Daniel Yusmic P. Foekh membacakan pertimbangan putusan tersebut.
Dalam putusan itu, lanjut Daniel, MK juga mewajibkan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. MK pun meminta KPU untuk mengatur dengan tegas syarat tersebut.
Lebih lanjut, Daniel mengatakan MK berpandangan bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon mengenai belum diakomodirnya ketentuan pengaturan pengunduran diri terhadap calon anggota DPR, DPD, DPRD yang akan menjadi calon kepala daerah, bukan menjadi penyebab calon anggota dewan atau calon kepala daerah itu mengingkari amanat yang diberikan oleh pemilihnya. Termasuk, kata Daniel, menjadi second option dalam memilih jabatan baginya.
Menurut Daniel, terhadap jabatan yang masuk dalam rumpun 'jabatan yang dipilih', hal tersebut menjadi suatu bentuk keleluasaan atau kebebasan bagi para pemilih untuk menentukan pilihannya.
Sebab, kata dia, tidak tertutup kemungkinan penilaian kapabilitas dan integritas dari calon yang bersangkutan, lebih diketahui dan dirasakan oleh pemilih yang merupakan 'pengguna' dari calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan bahkan calon kepala daerah.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah belum diakomodirnya persoalan tersebut tidak harus memperluas pemaknaan ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, namun hal tersebut cukup diakomodir dengan penambahan syarat. Bahwa pengunduran diri calon anggota DPR, DPD, DPRD sebelum ditetapkan sebagai anggota justru berpotensi mengabaikan prinsip kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” imbuhnya.