Pakar Sebut Pengunaan Hak Angket DPR Absurd untuk Konteks Permasalahan Pemilu
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Muncul dorongan pengguliran hak angket dan hak interpelasi di DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Manuver elite politik yang dorong hak angket dan hak interpelasi itu jadi perhatian.
Pakar hukum tata negara dan konstitusi Fahri Bachmid menanggapi wacana tersebut. Dia menilai pada hakikatnya pembentuk UUD sudah meletakan mekanisme checks and balances dalam konteks relasi kelembagaan serta kewenangan atributif yang dimiliki entitas lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
Menurut dia, hal itu termasik lembaga negara seperti DPR, Presiden, MK maupun KPU terkaitpenyelenggaraan Pemilu,
"Sehingga bangunan konstitusionalnya dapat kita cermati dalam kaidah Pasal 20A yaitu dalam melaksanakan fungsinya. DPR diperlengkapi dengan alat yang dinamakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat," kata Fahri, dalam keterangannya, Jumat, 23 Februari 2024.
Namun, menurut dia, dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif yang jalankan pemerintahan negara bukan untuk menilai proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya.
Fahri pun menyinggung konstruksi Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
“Dengan demikian jika DPR coba buat kebijakan ekstensifikasi kewenangannya termasuk gunakan alat angket untuk menilai serta menyelidiki proses serta produk pemilu tentu merupakan jalan yang keliru, jauh dari prinsip konstitusi. Yang secara tegas meletakan diferensiasi kewenangan konstitusional pada masing-masing lembaga negara," jelas Fahri.
Dengan demikian, ia menjelaskan relasi penyelesaian sengketa pemilu sudah ditentukan secara limitatif dalam konstitusi. Maka itu, kanal penyelesaian secara konstitusional tak dikenal digunakan di luar dari yang sudah ditentukan yaitu ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Fahri menyinggung kewenangan MK dalam memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Menurut dia, jalan itu yang mestinya digunakan. Dia menekankan jika angket mau dipaksakan maka sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan.
"Angket adalah operasi sesar yang tidak dikenal dalam sistem penyelesaian sengketa Pemilu di republik ini, tidak ada dalam kerangka hukum Pemilu kita," tuturnya.
Fahri jelaskan hak angket adalah instrumen yang diberikan kepada DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan Pemerintah. Kata dia, hak itu dinilai punya dampak penting, strategis, dan luas terhadap kehidupan masyarakat bangsa karena diduga melanggar peraturan perundang-undangan.
Dia juga menyampaikan landasan konstitusional penggunaan hak angket didasarkan pada UUD 1945. Hal itu khususnya ketentuan Pasal 20A ayat (2).
Lalu, menurutnya secara derivatif, hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD beserta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.
Fahri menuturkan, dalam kerangka hukum tata negara, hak angket bersama dengan hak menyatakan pendapat dan hak interpelasi adalah instrumen pengawasan legislatif terhadap berbagai kebijakan eksekutif atau pemerintah.
Namun, ia menyebut untuk konteks permasalahan Pemilu, penggunaan hak angket adalah absurd. Bahkan, ia bilang inkonstitusional karena tidak dikenal dalam bangunan hukum Pemilu di Tanah Air.
Dia mengatakan demikian karena menyesuaikan penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Sesuai penjelasan UU tersebut, hak angket bertujuan untuk mengawasi lembaga eksekutif yang mencakup Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Fahri menyoroti jika hak angket digunakan sebagai alat untuk mengurai persoalan pemilu maka hakikatnya itu sudah masuk ranah sengketa pemilu. "Yang tentunya merupakan yurisdiksi pengadilan, yang mana penyelesaiannya merupakan kompetensi absolut MK, bukan DPR," ujarnya.
Lebih lanjut, Fahri menyarankan agar para pihak yang tak puas dengan hasil Pemilu sebaiknya gunakan instrumen hukum pemilu yang tersedia. Ia bilang ada saluran konstitusional yang dapat ditempuh bila merasa ada dugaan kecurangan pada pelaksanaan pemilu.
"Yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK. Itu lebih genuine yang tentunya berbasis pada prinsip-prinsip konstitusionalisme," jelasnya.