MK Dinilai Tak Berwenang Tangani Dugaan Pelanggaran Pemilu, Ini Alasannya
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 tengah jadi perhatian karena ada dugaan pelanggaran secara terstrukstur, sistematis, dan masif atau TSM. Bahkan, ada rencana kubu kontestan Pilpres 2024 menggugat dugaan pelanggaran itu ke Mahkamah Konsitusi (MK).
Terkait itu, Guru Besar hukum konstitusi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, Andi Asrun menilai gugatan tersebut bukanlah wewenang MK. Menurut dia, hal itu melainkan ranah dari Bawaslu sebagai pihak pengawas pemilu.
"Jadi, berkaca kepada Undang-undang Pemilu dan juga jurisprudensi Mahkamah Konstitusi, maka pemeriksaan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang bersifat TSM bukan ranahnya Mahkamah Konstitusi. Tapi, seharusnya dibawa ke Bawaslu," kata Andi, dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis, 22 Februari 2024.
Andi juga menyinggung keberadaan para mantan Ketua MK di dua kubu kontestan Pilpres 2024. Ia mengatakan paslon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) ada Hamdan Zoelva. Lalu, paslon nomor urut 03 ada Mahfud MD yang keduanya sama-sama merupakan eks Ketua MK.
Bagi Andi, dua tokoh itu sependapat bahwa MK tak punya wewenang untuk menindaklanjuti gugatan soal pelanggaran pemilu TSM.
"Berkaca pada dua tokoh ini, mereka punya keyakinan pelanggaran TSM bukan tepatnya di MK, tapi Bawaslu," kata Andi Asrun.
Dia menuturkan jika seandainya dibawa ke MK maka itu suatu pekerjaan sia-sia. Kata dia, hal itu pekerjaan mubazir.
"Dan, juga artinya mereka membawa pelanggaran TSM ke MK adalah menunjukkan sikap yang inkonsisten ya, paradoks konstitusional tidak memahami hukum acara MK," lanjut Andi.
Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara, Margarito Khamis. Dia menyebut penanganan pelanggaran atau kecurangan secara TSM itu ranahnya ada di Bawaslu, bukan MK.
Menurut Margarito, hal itu mesti dibuktikan secara spesifik jika kecurangan atau pelanggaran yang terjadi memang benar pengaruhi hasil pemilu.
Ia bilang bukan cuma soal selisih suara saja. Margarito menekankan, salah satu yang mesti dibuktikan adalah adanya kesalahan penghitungan, bukan soal prosedur.
"Karena kalau Anda mau jadikan prosedur sebagai vokal poin dalam permohonan ini itu menjadi salah. Mengapa? Karena undang undang memerintahkan soal-soal itu dibawa ke Bawaslu bukan ke Mahkamah Konstitusi itu ya," kata Margarito.
Menurut dia, selama ini kubu paslon 01 maupun 03 terkecoh dengan hasil aplikasi Sirekap milik KPU. Sebab, hal itu bukan jadi acuan surat suara sah hasil penghitungan pemilu.
"Saya lihat teman-teman di kubu 01 dan 03 itu terkecoh dengan memberi fokus pada Sirekap itu. Padahal sirekap bukan bukan satu-satunya bukan soal yang menjadi dasar lahirnya angka (suara) itu," ujarnya.
"Ini kan cuma alat bantu percepatan agar memberikan informasi kepada orang," kata Margarito.
Dia menekankan mestinya secara hukum yang menjadi entitas adalah hasil rekapitulasi. "Jadi, mesti pastikan di hasil rekapitulasi jangan pusing dengan Sirekap itu," tuturnya.