Tito Karnavian Minta Pemda Bantu Petugas Ad Hoc Meninggal saat Bertugas Pemilu
- VIVA/Andrew Tito.
Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta pemerintah daerah memberikan bantuan kepada petugas badan ad hoc yang meninggal dunia saat menjalankan tugas selama tahapan Pemilihan Umum 2024.
Berbagai bantuan itu mulai dari biaya pemakaman hingga pemberian beasiswa kepada anak-anak yang ditinggalkan dan dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
"Kita semua berduka karena ada yang wafat, tetapi saya mengimbau kepada seluruh rekan-rekan kepala daerah untuk memberikan atensi bantuan kepada saudara-saudara kita petugas yang melaksanakan tugas dalam rangka kepemiluan, baik jajaran KPU maupun pengawas Bawaslu, dan lain-lain, termasuk juga petugas-petugas lain yang terkait kegiatan pemilu," kata Tito di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin, 19 Februari 2024.
Tito juga meminta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri untuk mempercepat pengurusan administrasi para petugas badan ad hoc yang wafat, salah satunya dengan memudahkan pembuatan surat kematian.
"Kami sudah sampaikan kepada Dirjen Dukcapil untuk menyampaikan ke seluruh jajaran Dukcapil agar mempercepat proses dokumentasi bagi saudara-saudara kita yang wafat,” katanya.
Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, Mendagri Tito menjelaskan langkah-langkah antisipasi akan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah petugas pemilu yang wafat atau sakit ketika bertugas. Hal ini dilakukan bersama berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah sebagai antisipasi agar persoalan ini tidak terulang kembali.
"Oleh karena itu, beberapa langkah sudah dilakukan untuk mengantisipasi itu, di antaranya mengenai persyaratan-persyaratan. Persyaratan yang didasarkan pada masukan Menkes, idealnya manusia itu bisa bekerja terus 10 jam, idealnya," ucap Tito.
Menurut Tito, pemerintah telah membatasi usia petugas ad hoc di tempat pemungutan suara (TPS). Sebagaimana aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), usia petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dibatasi antara 17 hingga 55 tahun. Para petugas itu juga melalui tahap skrining untuk memastikan kondisi kesehatannya baik.
"Skrining ini bagian untuk menjadi peserta BPJS. Oleh karena itulah, kami dari Kemendagri mengeluarkan surat edaran kepada seluruh pemerintah daerah karena KPU tidak memiliki anggaran untuk iuran BPJS petugas ad hoc ini," jelasnya.
Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, tambah Tito, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga telah menyiagakan fasilitas dan sarana kesehatan mulai dari puskesmas, klinik, hingga rumah sakit untuk membantu layanan kesehatan bagi petugas badan ad hoc di TPS.
Kemudian, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, ada klausul tertentu yang berhubungan dengan penghitungan suara agar waktunya diperpanjang untuk menghindari kelelahan petugas.
"Kita tahu ya mulai pencoblosan itu jam 07.00 sampai dengan jam 13.00, dan setelah itu dilakukan penghitungan suara maksimal sampai jam 12 malam. Tetapi, kemudian ada putusan MK boleh ditambah lagi 12 jam. Artinya sampai hari berikutnya, itu totalnya lebih kurang 22 (jam) ditambah dengan 12 (jam), jadi lebih kurang 34 jam," tambah Tito.
Mendagri menambahkan keputusan MK yang menyatakan bahwa penghitungan suara dilakukan tanpa jeda harus dipahami dengan benar. Tanpa jeda yang dimaksud adalah prosesnya agar tidak terjadi penyimpangan moral (moral hazard).
Sementara petugasnya, sebagaimana standar yang dibuat oleh Kemenkes, idealnya manusia bekerja secara terus-menerus tidak lebih dari 10 jam.
"Dari KPU berpendapat bahwa kenapa tanpa jeda, supaya tidak terjadi break, kalau break penghitungan nanti ada moral hazard kerawanan. Oleh karena itulah, terus-menerus, tetapi tidak berarti individualnya terus-menerus, prosesnya tetap berjalan, ada penghitungan. Kalau dia mau ke toilet, ada yang lelah, mengantuk sekali, artinya bisa istirahat, sementara temannya bisa mengerjakan," jelasnya.