Hasto Cerita soal Orde Baru Punya Kemenangan di Atas 78 Persen tapi Berujung Tumbang
- Istimewa
Jakarta- Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo- Mahfud MD, Hasto Kristiyanto mengatakan ada tiga fenomena yang secara khusus dapat apresiasi pihaknya saat hari terakhir masa kampanye jelang pemungutan Pemilu 2024 yang tinggal hitungan hari. Menurut Hasto salah satu fenomenanya terkait gelombang kritik sivitas akademika terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Menurut dia, gerakan sivitas akademika itu guru besar dan kampus yang semakin besar mencapai lebih dari 300 perguruan tinggi. Lalu, fonomena gerakan para ahli hukum tata negara, serta masifnya gerakan perlawanan rakyat tanpa bayaran dan mobilisasi dalam puncak gelaran kampanye akbar baru-baru ini.
“Gerakan kampus menyuarakan bahwa demokrasi kita yang tengah berada dalam ancaman sangat serius harus diselamatkan. Demokrasi kita tengah terjebak pada populisme dan demokrasi prosedural,” kata Hasto, Minggu, 11 Februari 2024.
Hasto juga menyinggung praktik di depan mata yaitu adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Ia menyebut dugaan itu seperi rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK), intimidasi para kepala daerah, kepala desa, kepala dinas untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Pun, dia menyebut momentum yang terjadi saat ini adalah gerakan prodemokrasi paling masif dalam sejarah Indonesia pascareformasi.
“Selain itu, gerakan para ahli hukum tata negara dan kelompok anti KKN bersatu terjadi karena melihat ketidakadilan logistik dalam pemilu. Ada yang jor-joran melakukan pengerahan massa, money politics yang dilegalkan, serta penggunaan bantuan sosial secara massif,” tutur Sekretaris Jenderal DPP PDIP itu.
Lebih lanjut, dia menuturkan saat ini muncul keberanian gerakan rakyat seperti yang terjadi pada kader-kader PDIP di tingkat bawah.
"Perlawanan ini menimbulkan optimisme, bahwa rakyat tidak bisa dibungkam dan pemilu tak bisa direkayasa di zaman modern,” lanjut Hasto.
Hasto mengingatkan, sejarah mengajarkan kalau pemilihan umum yang dimanipulasi seperti pada Pemilu 1997 tidak akan menghasilkan demokrasi yang baik. Saat itu, Orde Baru atau Orba dengan kekuasaan sangat otoriter peroleh suara kemenangan di atas 78 persen.
Namun, era Orba kemudian akhirnya tumbang dijatuhkan kekuatan rakyat, terutama atas dorongan para aktivis mahasiswa.
“Saat ini perguruan tinggi sudah bergerak menyuarakan hal yang sama, kami berharap dapat didengar sebagai suara rakyat suara kebenaran, sehingga dalam tiga hari ke depan, Indonesia dapat menampilkan gambaran demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” kata dia.