Kritik Guru Besar Kampus ke Jokowi Diduga untuk Kepentingan Elektoral Paslon Tertentu
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Kalangan civitas akademika termasuk guru besar dari sejumlah kampus membuat petisi untuk mengkritisi pemerintahan Presiden Jokowi. Kritikan itu seperti terkait demokrasi hingga kebebasa berekspresi di Tanah Air yang dinilai sudah menurun.
Menanggapi itu, deklarator Pergerakan Advokat untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI), Yudo Prihartono heran dengan maraknya pernyataan sikap dari civitas akademika termasuk guru besar dari beberapa perguruan tinggi. Dia menduga langkah para civitas akademika itu diduga telah terorkestrasi sebagai bentuk dukungan untuk kepentingan elektoral dari paslon tertentu.
“Silakan saja civitas akademika dan para guru besar yang terhormat turut mengawal pesta demokrasi dan pelaksanaan pemilu yang adil, jujur, dan bermartabat. Namun, jangan sampai ini hanyalah suatu bentuk dukungan terselubung yang patut diduga merupakan preferensi politik semata," kata Yudo, dalam keterangannya, Sabtu, 3 Februari 2024.
Pun, dia juga mencatat jejak digital dari pernyataan dukungan politik dari salah satu akademisi. Sikap dukungan akademisi itu dimuat langsung pada akun media sosial dari salah satu pasangan calon (paslon) pada 19 Oktober 2023.
"Tentu itu hak dari yang bersangkutan, tetapi jangan sampai sikap dan pandangan tersebut dianggap sebagai representasi dari civitas akademika," jelas Yudo.
Sementara, deklarator PATHI Risza Fransiscus menambahkan memang tak ada aturan hukum yang melarang berkampanye di kampus pasca putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 tentang pengujian Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Namun, ia mengingatkan etika bagi kampus dan para civitas akademika untuk senantiasa jaga netralitas kaum akademis yang bebas dari kepentingan elektoral.
Pun, deklarator PATHI lainnya Tito Panjaitan, mempertanyakan contoh konkret dari 'penindasan kebebasan berekspresi' yang dipersoalkan oleh para civitas akademika tersebut. Sebab, menurut dia, petisi yang disuarakan civitas akademik itu masuk bagian kebebasan berekspresi.
“Justru seruan civitas akademik tersebut adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin penuh oleh konstitusi dan negara," kata dia.
Tito menambahkan perguruan tinggi harus jadi garda depan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Edukasi itu dengan mensosialisasikan pemilu sebagai sarana demokrasi yang mempersatukan perbedaan masyarakat.
"Jangan sampai perbedaan pilihan politik justru malah dipandang tidak demokratis oleh para akademisi yang sudah lebih clear nalarnya," ujarnya.
Sebelumnya, civitas akademika dari sejumlah perguruan tinggi menyuarakan pandangan kritis untuk pemerintahan Jokowi. Bahkan, sebagian di antaranya guru besar dari Universitas Indonesia (UI), hingga Universitas Gadjah Mada (UGM) melontarkan kritik untuk Jokowi.
Kritik dari guru besar antara lain menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Isu netralitas jelang pencoblosan juga jadi perhatian.
Selain UGM dan UI, civitas akademika kampus lainnya yang sudah menyuarakan kritik antara lain Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Hasanudin (Unhas).
Â