Pakar: Isu Pemakzulan Presiden Tak Punya Basis Konstitusional, Hanya imajiner belaka
- VIVAnews/Anwar Sadat
Jakarta - Isu pemakzulan Presiden RI Jokowi tengah jadi perhatian karena dimunculkan sejumlah tokoh dalam Petisi 100 yang mendatangi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Pakar hukum tata negara pun beri pandangannya atas isu pemakzulan Presiden.
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai pemakzulan terhadap Jokowi mesti memenuhi anasir absolut yang bersifat measurable. Menurut dia, measurable itu dengan terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana berat lainnya; atau perbuatan tercela.
"Maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya attainable. Artinya di luar article of impeachment sebagaimana rumusan konstitusi itu. Maka, tak cukup alasan atau berdasar untuk melakukan pemakzulan presiden," kata Fahri, dalam keterangannya dikutip dari tvonenews, pada Kamis, 18 Januari 2024.
Fahri berpandangan manuver yang dilakukan pihak pengaju petisi 100 itu sifatnya politis. Ia menduga gerakan petisi 100 itu tujuannya lebih berorientasi terhadap upaya mendelegitimasi Pemilu 2024.
"Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini. Sebab, secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," sebutnya.
Pun, dia menuturkan lembaga pemakzulan Presiden sudah diatur secara limitatif dalam konstitusi yaitu dalam UUD 1945 seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B. Aturan pasal itu berisi sebagai berikut.
"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden" selanjutnya "Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".
Dia menjelaskan ketentuan terkait proses itu diajukan dengan permintaan dari DPR kepada MK. Menurut dia, syarat itu hanya bisa dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna.
Lalu, saat proses telah beralih ke MK, maka lembaga konstitusi itu wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR. Waktu yang diatur yaitu paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
Lebih lanjut, Fahri menambahkan dalam aturan konstitusi, bila MK memutuskan Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, atau tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian.
Kemudian, dia menyebut langkah selanjutnya MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut. Waktu sidang itu paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Kata dia, keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden sesuai konstitusi mesti diambil dalam rapat paripurna MPR dengan dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota.
"Dan, disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR," jelas Fahri.
Menurut dia, dengan penjelasan itu jadi sesuatu yang mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden. "Dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum," ujar Fahri.
Â