Wapres: Kehilangan Akal Sehat Sumber Terjadinya Ketidakrukunan dan Konflik
- ANTARA
Jakarta - Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan akal yang sehat dan hati yang bersih merupakan kunci dalam merawat bangsa agar terhindar dari konflik.
"Jadi, kehilangan akal sehat, hatinya tidak bersih, ini saya kira yang menjadi sumber terjadinya ketidakrukunan atau terjadinya konflik-konflik. Ini yang memang harus kita suarakan,” kata Ma’ruf saat menerima audiensi sejumlah tokoh bangsa di Istana Wapres, Jakarta, Kamis, 11 Januari 2024.
Para tokoh tersebut adalah Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Lukman Hakim Saifuddin, Karlina Rohima Supelli, Makarim Wibisono, Kardinal Suharyo, Pendeta Gomar Gultom, dan Alissa Wahid.
Dalam pertemuan itu, Ma’ruf menyampaikan apresiasinya kepada para tokoh lintas agama tersebut yang hadir membawa gagasan Gerakan Nurani Bangsa sebagai upaya untuk menjaga dan merawat bangsa Indonesia.
"Saya senang sekali karena masih banyak tokoh yang mau berusaha untuk menjaga bangsa ini. Andaikata sudah tidak ada, saya kira keadaan bangsa Indonesia ke depan akan lebih parah karena tidak ada orang yang mau menyuarakan kebenaran dan kebaikan," tuturnya.
Salah satu tantangan terdekat dalam merawat keutuhan bangsa, kata Ma’ruf, adalah kontestasi Pemilu 2024. Menurutnya, pemilu dapat menyebabkan polarisasi masyarakat yang berujung pada perpecahan.
Oleh karena itu, dia menekankan bahwa peran tokoh bangsa saat ini sangat perlu, khususnya untuk mengingatkan agar masyarakat dapat terus mampu menjaga batas perbedaan pilihan politik pada koridor yang tidak menimbulkan konflik.
"Saya pikir tokoh-tokoh ini harus terus melakukan upaya-upaya melalui berbagai pertemuan, forum, untuk menyuarakan harus seperti apa menjaga dan merawat keutuhan bangsa ini," ujarnya.
Dia mengatakan bahwa perpecahan sama halnya mengkhianati perjuangan para pendiri bangsa yang telah berjuang menyatukan segala perbedaan pada masa lampau.
"Bisa dibayangkan negara seluas ini bisa disatukan, itu menurut saya bukan pekerjaan mudah. Bagaimana masa itu dengan keterbatasan alat komunikasi dan transportasi, tetapi luar biasa bisa menyatukan berbagai etnik dan agama melalui kesepakatan nasional," katanya.
Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, istri presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, mengungkapkan keresahannya, terutama mengenai situasi menjelang pemilu dan masih adanya konflik di Tanah Air, seperti di Papua.
"Ini semua membuat kami prihatin bagaimana untuk menghadapinya karena semuanya ini adalah anak bangsa Indonesia yang kita cintai. Karena itu tergeraklah melihat situasi seperti ini, kami mempunyai pemikiran untuk mendirikan sebuah gerakan yang kita namakan Gerakan Nurani Bangsa," katanya.
Gerakan ini, kata Sinta Nuriyah, bertujuan untuk mengajak para tokoh bangsa agar terus bergerak sekaligus menjaga komitmennya dalam merawat bangsa dan negara untuk generasi mendatang.
"Paling tidak kami bisa memberikan contoh dan ketauladanan kepada generasi muda agar mereka bisa mencontoh dan meneladani apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh bangsa untuk merawat dan menjaga bangsa Indonesia ini dengan sebaik-baiknya," ujarnya.
Sementara itu, ulama senior Quraish Shihab menyampaikan pandangannya bahwa nurani umat manusia pada dasarnya terdiri atas tiga hal, yakni keadilan, amanah, dan hormat kepada orang tua.
"Ketika menamakan ini (Gerakan Nurani Bangsa), sebenarnya arah kami ke sana (keadilan, amanah, dan hormat kepada orang tua). Kita ingin keadilan ini akan menyentuh semua pihak, kita ingin amanah itu ditegakkan, dan kita ingin menghormati orang-orang tua kita yang telah berjasa," terang Quraish Shihab.
Pada kesempatan yang sama, Kardinal Suharyo mengingatkan akan pentingnya tiga kata yang memiliki akar yang sama sebagai kunci untuk merawat bangsa. Tiga kata tersebut adalah khalik (sang pencipta), makhluk (ciptaan Tuhan), dan akhlak mulia.
"Kita semua berharap, ketika seseorang menyadari dirinya sebagai makhluk, kepada Sang Khalik (Sang Pencipta), dia mesti bersembah sujud dan beribadah, dan kepada lingkungan, dunia, dan sesama dalam kehidupan bersama dan berakhlak mulia," ujar Suharyo.
Oleh karena itu, kata Suharyo, segi moralitas dasar tersebut menjadi sangat menentukan dalam upaya merawat bangsa.
"Kita boleh berbicara tentang ekonomi, berbicara tentang kebudayaan, dan sebagainya, tetapi kalau pengertian dasar ini tidak bertumbuh, moralitasnya tidak tangguh, lalu semuanya itu (upaya merawat bangsa) rasa-rasanya rapuh," katanya. (ant)