SMRC Ungkap 44 Persen Masyarakat Anggap Politik Uang adalah Wajar
- ANTARA FOTO/Aji Styawan
Jakarta – Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengungkap 44 persen masyarakat menilai politik uang merupakan hal yang wajar. Dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) 204,8 juta, disebutkan, terdapat sekitar 90 juta pemilih yang anggap wajar politik uang.
Dalam survei SMRC pada November 2023, responden ditanyakan mengenai adanya capres atau caleg atau orang yang membantu mereka memberikan uang atau hadiah tertentu agar memilih calon tersebut. Menjawab pertanyaan itu, 44 persen responden menilai hal itu bisa diterima sebagai hal yang wajar. Sementara itu, 56 persen menyatakan itu tidak bisa diterima atau tidak wajar.
"Dari 204 juta pemilih, hampir 100 juta menganggap politik uang sebagai sesuatu yang lumrah, bukan masalah besar, atau bukan sesuatu yang tabu," kata pendiri SMRC, Saiful Mujani dalam diskusi “Potensi Politik Uang di Pemilu 2024” yang disiarkan kanal YouTube SMRC TV, Kamis, 21 Desember 2023.
Saiful menduga masyarakat mengetahui politik uang merupakan hal yang ilegal dan melanggar hukum. Namun, jika penegakan hukum lemah, orang akan mencari celah untuk menyiasati aturan tersebut.
Lantaran sudah terbiasa, kata dia, terdapat 44 persen warga yang menganggap wajar menerima uang dari orang yang berharap dipilih.
“Mungkin itu pengalaman atau diskursus yang sudah berkembang di masyarakat bahwa politik uang itu hal yang wajar. 44 persen ini adalah angka nasional. Kalau dibreakdown, variasinya sangat tinggi antara satu daerah dengan daerah yang lain,” ujarnya.
Dengan hasil survei ini, empat dari 10 orang Indonesia menganggap politik uang itu wajar.
Tetapi, apakah yang menganggap politik uang itu wajar, mereka akan terpengaruh oleh praktik politik uang? Survei SMRC menemukan terdapat 21 peraen yang menyatakan akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang atau hadiah tersebut, 5 persen yang akan menerima dan akan memilih calon yang memberi uang atau hadiah lebih banyak, dan sebanyak 68 perse. yang menyatakan akan menerima uang atau hadiah tersebut, tetapi masalah memilih calon anggota DPR ditentukan sendiri sesuai hati nurani.
Kemudian ada 6 persen yang menyatakan tidak akan menerima pemberian tersebut.
Saiful menjelaskan bahwa dari 44 persen publik yang menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar, hanya 26 persen yang kemungkinan terpengaruh. Dari total populasi pemilih, hanya sekitar 11 persen yang akan terpengaruh politik uang.
“Hanya 11 persen orang akan terpengaruh atau akan memilih karena dikasih uang. Artinya hanya satu dari 10 kasus. Kalau Anda ingin efektif dalam memberikan uang dan berharap orang yang menerimanya akan memilih Anda sebagai calon, maka peluangnya adalah hanya satu dari 10. Masalahnya adalah di mana orang yang satu dari 10 warga itu?” kata Saiful.
Hal ini karena tidak diketahui secara persis 11 persen itu siapa dan berada di mana. Untuk itu, Saiful mengatakan, politik uang tidak efektif dan efisien.
Saiful juga menduga politik uang banyak dibicarakan karena tidak diketahui secara persis siapa dan berada di mana orang yang bisa dipengaruhi oleh politik uang tersebut. Akibatnya, para pelaku politik uang akan menghamburkan uangnya.
“Itu yang membuat pemilu mahal. Karena untuk mendapatkan satu suara efektif karena politik uang, Anda harus memberi 10. Ada 44 persen memang yang toleran, tidak mempersoalkan halal dan haramnya, tidak memperhatikan hukum, tidak memperhatikan rasa malu, kalau dikasih, ya dikasih saja, tetapi mereka belum tentu memilih. Yang memilih, dari 10 kasus, hanya satu,” kata Guru besar ilmu politik UIN Jakarta tersebut
Saiful menekankan, melacak 11 persen pemilih yang akan menerima politik uang dan memilih calon yang memberi itu tidak mudah. Akibatnya, para politikus pelaku politik uang menjadi spekulan.
Saiful melanjutkan bahwa mayoritas warga yang menoleransi politik uang atau menganggap politik uang sebagai sebagai sesuatu yang wajar tidak memilih berdasarkan pemberian uang.
“Kebanyakan mereka mengambil uangnya, tetapi tidak memilih berdasarkan pemberian uang,” ujarnya.
Lebih jauh Penulis buku Piety and Public Opinion itu menunjukkan adanya variasi tingkat kerentanan pengaruh politik uang terutama menurut wilayah desa-kota, pendidikan dan pendapatan.
Dari aspek wilayah, orang yang tinggal di perdesaan lebih rentan dibanding yang di perkotaan. Total ada sekitar 14 persen dari populasi pemilih di pedesaan atau 31 persen dari 44 persen yang toleran yang rentan terpengaruh politik uang. Sedangkan di perkotaan, hanya 9 persen atau 22 persen dari 42 persen.
Demikian pula dengan aspek pendidikan, pemilih berpendidikan rendah lebih rentan dibanding yang berpendidikan tinggi. Sekitar 15 persen warga berpendidikan SD atau lebih rendah rentan terpengaruh politik uang atau 33 persen dari 45 persen.
Sementafa pemilih berpendidikan perguruan tinggi ada 8 persen atau 28 persen dari 30 persen.
Adapun pada aspek pendapatan, yang berpendapatan rendah atau di bawah Rp 1 juta per bulan atau lebih rendah lebih rentan terpengaruh politik uang, yakni sekitar 15 persen atau 35 persen dari 43 persen, sementara pada yang berpendapatan Rp 2 juta ke atas 9 persen atau 22 persen dari 42 persen.
Saiful menyimpulkan profil yang mau dan terpengaruh politik uang adalah cenderung tinggal di perdesaan, pendidikan rendah, dan pendapatan yang juga lebih rendah. Untuk itu, ditegaskan Saiful, untuk mencegah terjadinya praktik politik uang, lembaga pemantau atau pengawas pemilu bisa lebih fokus pada kelompok-kelompok tersebut.
“Untuk mencegah praktik politik uang atau menekan supaya politik uang tidak gila-gilaan seperti itu, Bawaslu, pengawas, dan aparat fokus ke sana. Jagain orang desa, yang berpendidikan rendah, dan berpendapatan kecil, supaya mereka tidak menjadi korban politik uang,” imbuhnya.