SMRC: 44 Persen Publik Anggap Politik Uang Wajar, tapi Mayoritas Tidak Memilih Calonnya

Pendiri SMRC Saiful Mujani
Sumber :
  • SMRC TV

Jakarta – Jelang Pemilu 2024 digelar pada 14 Februari nanti, persoalan politik uang kerap kali menjadi persoalan. Saiful Muzani Risearch and Consulting atau SMRC, mencatat 44 persen masyarakat menganggap wajar politik uang.

Pilbup Kabupaten Sikka, Survei LSI Ungkap Elektabilitas Pasangan Juventus-Simon Unggul 36,4%

Hasil survei ini dipresentasikan Saiful Mujani melalui program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Potensi Politik Uang di Pemilu 2024” yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 21 Desember 2023.

Dari pertanyaan, ada usaha memenangkan pemilu, ada capres atau calon anggota DPR/DPRD/DPD atau orang yang membantu mereka memberikan uang atau hadiah tertentu agar memilih calon tersebut. Apakah pemberian itu dapat diterima sebagai hal yang wajar atau tidak bisa diterima. Hasilnya masih tinggi masyarakat yang menilai wajar.

NU DKI hingga FBR Siap Jaga Kampung Demi Wujudkan Pilgub Jakarta yang Bersih

"Ada 44 persen yang menyatakan hal itu bisa diterima sebagai hal yang wajar dan 56 persen menyatakan itu tidak bisa diterima atau tidak wajar," dalam keterangan persnya yang diterima, Kamis 21 Desember 2023.

Jika dilihat, maka 100 juta orang menganggap politik uang itu wajar, masalah besar atau bukan sesuatu yang tabu, dari 204 juta pemilih Indonesia saat ini.

Poltracking Kembali Bongkar Fakta Tersembunyi Inkonsistensi Persepi

Dijelaskan Saiful Muzani, bahwa masyarakat sebenarnya tahu kalau politik uang itu ilegal dan melanggar hukum. Tetapi bila tidak bisa ditegakkan maka orang akan mencari celahnya. 

“Mungkin itu pengalaman atau diskursus yang sudah berkembang di masyarakat bahwa politik uang itu hal yang wajar. Dan 44 persen ini adalah angka nasional. Kalau dibreakdown, variasinya sangat tinggi antara satu daerah dengan daerah yang lain,” jelas pendiri SMRC tersebut.

Mayoritas Menerima Uangnya, Tidak Memilih Calonnya

Meski menganggap wajar politik uang, yang menjadi pertanyaan apakah mereka akan terpengaruh untuk memilih calonnya?

SMRC mencatat, 21 persen yang menerima dan memilih calon yang memberi uang atau hadiah tersebut. Lalu ada 5 persen yang menerima dan memilih calon yang memberi uang atau hadiah lebih banyak.

Sedangkan 68 persen menyatakan menerima uang atau hadiah tersebut, tapi masalah memilih calon anggota DPR ditentukan sendiri sesuai hati nurani. Hanya 6 persen tidak akan menerima pemberian.

“Hanya 11 persen orang akan terpengaruh atau akan memilih karena dikasih uang. Artinya hanya 1 dari 10 kasus. Kalau Anda ingin efektif dalam memberikan uang dan berharap orang yang menerimanya akan memilih Anda sebagai calon, maka peluangnya adalah hanya 1 dari 10. Masalahnya adalah di mana orang yang 1 dari 10 warga itu?” jelas Saiful.

Maka dari itu, jelasnya, tidak mudah sebenarnya mengukur efektifitas dari politik uang. Sebab tidak diketahui persis siapa dan berada di mana orang yang bisa dipengaruhi oleh politik uang tersebut. Sehingga para pelaku politik uang akan menghamburkan uangnya. 

“Itu yang membuat pemilu mahal. Karena untuk mendapatkan 1 suara efektif karena politik uang, Anda harus memberi 10. Ada 44 persen memang yang toleran, tidak mempersoalkan halal dan haramnya, tidak memerhatikan hukum, tidak memerhatikan rasa malu, kalau dikasih, ya dikasih saja. Tapi mereka belum tentu memilih. Yang memilih, dari 10 kasus, hanya 1,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Karena tidak dapat dilacak dan tidak mudah membuktikan yang diberi uang akan terpengaruh, maka pelaku politik uang ini seperti spekulan saja. Tapi mayoritas masyarakat yang mentoleransi politik uang tetapi belum tentu memilih mereka.

“Kebanyakan mereka mengambil uangnya, tapi tidak memilih berdasarkan pemberian uang,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya