ICMI Kritik Aturan soal Pejabat Tak Harus Mundur jika Maju Pilpres

Ilustrasi surat suara di pemilu
Sumber :
  • vstory

Jakarta – Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Ismail Rumadan menilai PP Nomor 53 Tahun 2023 yang tidak mengharuskan pejabat untuk mundur saat maju berkontestasi dalam pilpres 2024 mengundang tanda tanya besar.

Punya Feeling Seperti di Pilpres, Bahlil Yakin Ridwan Kamil Menang Pilkada Jakarta

"Dugaan saya Aturan yang diterbitkan Presiden ini sebagai bentuk formal tindak lanjut dari pernyataan Presiden untuk ikut cawe-cawe dalam Pilpres," ungkap Ismail dalam keterangan yang diterima, Minggu 3 Desember 2023

Ilustrasi Pemilu 2024.

Photo :
  • VIVA
Dituding Galang Dana ASN untuk Salah Satu Paslon Pilkada, Ini Jawaban Wali Kota Depok

Lebih lanjut ia menyayangkan sejumlah Aturan yang kerap ditabrak, bahkan disulap hanya untuk menguntungkan kepentingan kelompok tertentu.

"Jadi Pilpres kali ini penuh dengan akrobatik, hanya karena ingin mendukung satu pasangan calon. Seharusnya aturan semacam ini dibatalkan atau jika ada pasangan Capres dan Cawapres lain yang merasa dirugikan dengan adanya aturan tersebut, bisa diajukan permohonan Uji Materil ke MA untuk dibatalkan," beber Ismail.

Fenomena Pejabat Sering 'Ngaret' di Acara Resmi, Ternyata Sudah Diatur dalam UU Keprotokolan

Dosen hukum Universitas Nasional tersebut juga mengungkapkan, masyarakat memiliki hak untuk protes dan sekaligus mengajukan judicial review (JR) ke MA untuk membatalkan PP Nomor 53 Tahun 2023 tersebut agar proses pelaksanaan Pilpres ini berjalan netral dan bebas dari potensi penyalagunaan wewenang.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Semar Politik Indonesia (SPIN) Mawardin Sidik menganggap dengan diterbitkannya PP tersebut menimbulkan kesan adanya peran ganda sebagai pejabat negara dan kontestan Pilpres, sehingga berpotensi pada kurang maksimalnya pelayanan publik.

"Pelayan publik seharusnya total melayani, full-time. Karena itu, bagi peserta Pilpres, baik capres maupun cawapres yang sedang jadi pejabat negara, seharusnya mundur," tegas Mawardin

Mawardin mengingatkan kompleksitas politik di lapangan tak bisa diabaikan. Sebab antara kegiatan kampanye sebagai kontestan Pilpres dan kegiatan pemerintahan sebagai pejabat negara, secara praktis tipis perbedaannya, sehingga lubang jarum politis yang bernama konflik kepentingan menjadi tantangan tersendiri.
 
"Sejauh mana mereka mampu menjaga netralitas, tidak memainkan kode-kode tertentu dan komunikasi simbolik yang memancing keberpihakan jajaran ASN di arus bawah?" kata Mawardin.

Ilustrasi Pemilu.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Kerumitan selanjutnya, sambung Mawardin, berkaitan dengan sumber daya, fasilitas, anggaran, otoritas, kebijakan dan agenda programatik yang inheren pada pejabat negara tentu saja rawan dipolitisasi dan dikapitalisasi untuk kepentingan parsial dalam kampanye terselubung. 

"Momen krusial dalam tahapan kampanye pemilu 2024 yang mulai digelar tersebut, sulit dimungkiri tidak ada yang hampa politis," ujar Mawardin.

"Oleh sebab itu, masyarakat sipil mesti mengawal kenduri demokrasi 2024 agar para kandidat yang berlaga mematuhi aturan yang berlaku, mengarusutamakan netralitas, sehingga mesin birokrasi benar-benar murni bekerja untuk kepentingan publik," sambungnya. 

Seperti diketahui, aturan terbaru itu dituangkan Jokowi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Permintaan Izin Cuti Dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti Dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya