Cawapres Bisa dari Kepala Daerah, Saldi Isra: Aneh yang Luar Biasa
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan syarat capres cawapres dengan pengalaman dari kepala daerah menuai polemik. Ada pengakuan menarik dari hakim konstitusi Saldi Isra yang merasa aneh dengan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Saldi merupakan salah satu hakim dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam perkara tersebut. Selain Saldi, ada tiga hakim konsitusi lainnya yang dissenting opinion yaitu Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Bagi Saldi, putusan perkara itu aneh luar biasa. Dia menyebutnya putusan tersebut jauh dari batas penalaran yang wajar. Ia bilang demikian karena mahkamah seperti berubah pendirian dalam sekejap.
Menurut dia, selama berkarir sebagai hakim konstitusi sejak April 2017, baru kali ini dirinya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa. Ia mengatakan demikian karena proses yang terjadi dalam memutuskan perkara nomor 90.
“Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa. Dan, dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar, mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023.
Saldi tak menafikan MK pernah berubah pendirian dalam memutuskan suatu perkara. Namun, menurutnya tak pernah terjadi secepat saat memutus perkara Nomor 90 yang diajukan mahasiswa UNS. Kata dia, perkara itu bisa berubah dalam hitungan hari.
Dia menyoroti perubahan itu bukan hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya. Namun, ia menyunggung tak didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah terdapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah masyarakat.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?” ujar Saldi.
Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan perkara nomor 90 yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Dalam pertimbangannya, MK berkesimpulan permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Ketua MK Anwar Usman saat bacakan putusan bahwa capres dan cawapres minimal usia 40 tahun tapi berpengalaman menjabat kepala daerah.
"Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," tutur Anwar di gedung MK.
Pun, dia menceritakan saat rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Ketika itu, RPH itu dilakukan pada 19 September 2023 dengan dihadiri delapan hakim konstitusi minus MK Anwar Usman.
Saldi menuturkan dari RPH itu, enam hakim konstitusi, sebagaimana amar putusan MK Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan. Enam hakim itu tetap memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka yaitu open legal policy karena kewenangan pembentuk undang-undang.
"Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ujar Saldi.
Dalam perkara lainnya, MK menolak gugatan uji materi Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Elite PSI sebagai pemohon ingin batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun jadi 35 tahun.
Lalu, MK juga menolak gugatan uji materi yang dilayangkan Partai Garuda dengan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023. Kemudian, gugatan lainnya di Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 juga ditolak MK.
Perkara Nomor 51 itu diajukan sejumlah kepala daerah yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
“Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya," jelas Saldi.
Menurut Saldi, tiga putusan pertama MK juga sebenarnya sudah menutup ruang dalam gugatan usia capres dan cawapres.
"Sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” ujar pakar hukum tata negara tersebut.