Elite PDIP: Putusan MK yang Dibacakan Anwar Usman Bertentangan dengan Sikap 6 Hakim
- ANTARA/Teuku Dedi Iskandar
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu tentang syarat berpengalaman sebagai kepala daerah.
Gugatan yang dikabulkan sebagian itu, teregister dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman bertentangan dengan 6 hakim MK lainnya.
Pasalnya, terdapat 4 hakim MK menyatakan berbeda pendapat atau disenting opinion, antara lain Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Sementara ada 2 hakim yang memiliki alasan berbeda atau occuring opinion, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic.
"Artinya, sejatinya hanya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan ini berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ahmad Basarah dalam keterangannya, Senin, 16 Oktober 2023.
"Sisanya 6 hakim konstitusi lainnya, memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan. Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon," katanya.
Ketua DPP PDIP itu menilai putusan MK itu problematik dan mengandung persoalan dan kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan.
"Atau kalaupun mau dipaksakan bahwa 5 orang hakim mengabulkan permohonan maka titik temu di antara 5 orang hakim adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah gubernur. Dengan demikian putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/wali kota," kata Basarah.
"Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan. Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini," katanya.