BNPT: Masyarakat Harus Waspada Masuknya Jaringan Radikal dan Teroris lewat Partai
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Surakarta – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris meminta masyarakat yang tergabung dalam partai politik, khususnya menjelang Pemilu Serentak 2024, untuk tidak merasa partainya yang paling baik dan paling benar.
"BNPT tidak mengurusi segala hal tentang partai; tetapi BNPT mengajak masyarakat untuk tetap waspada masuknya jaringan radikalisme dan teroris lewat partai," kata Irfan Idris usai menjadi pembicara dalam "Workshop Indonesia-Malaysia in Countering Radicalism, Extremism, and Terrorism through Digital Media" di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu, 27 September 2023.
Menurut Irfan, kalau mau berpartai, masyarakat harus berhati-hati. Jangan satu simbol dikatakan paling benar, karena teroris sudah tidak menggunakan simbol-simbol.
Dia pun mengajak masyarakat membanjiri dunia dengan narasi kearifan lokal menjunjung persatuan dan kesatuan agar tidak mudah terpancing di tengah perkembangan media digital saat ini.
Selain itu, dia mengingatkan, ada beberapa pihak yang selalu membuat narasi perpecahan pada tahun politik, termasuk membuat narasi indah tetapi ternyata menghancurkan.
Menurut dia, memang ada orang yang setiap kerjanya membuat narasi-narasi seolah-olah indah dilihat dan dibaca, tapi isinya berbahaya dan bertujuan untuk memecah persatuan.
"Tantangan persatuan saat ini tidak hanya secara nyata, tetapi juga di dunia maya: dahulu offline, sekarang online; tidak mengenal dimensi waktu dan tempat. Kita harus memiliki katalisator persatuan," ujarnya.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan media digital menjadi sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan; mulai dari rekrutmen, propaganda, pemecahan masyarakat, serta dukungan terhadap paham terorisme.
Menurut Mayndra, identifikasi narasi-narasi semacam itu bisa dilakukan dengan memahami konteks narasi yang disebarkan dan menganalisis apakah konten tersebut memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum di Indonesia. (ant)