Tak Ingin Nama NU Dibawa ke Politik Praktis Pemilu 2024, PWNU DIY: Akan Kami Tegur
- instagram @kaligrafiukiran
Yogyakarta – Aktivitas politik jelang Pemilu 2024, mulai tinggi. Namun Nahdlatul Ulama atau NU, tidak ingin dibawa-bawa dalam aktivitas praktisnya, seperti yang diutarakan PWNU Yogyakarta.
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta meminta berbagai aktivitas politik praktis menjelang Pemilu 2024 di provinsi ini tidak membawa nama, lambang, maupun fasilitas Nahdlatul Ulama (NU).
"Kalau ada (membawa nama, lambang, dan fasilitas NU) akan kami ingatkan atau tegur," kata Ketua Tanfidziyah PWNU DIY K.H. Ahmad Zuhdi Muhdlor saat dihubungi di Yogyakarta, Senin, dikutip dari Antara.
Dia mempersilakan para pengasuh pondok pesantren berlatar belakang NU di DIY menyampaikan arah dukungan politiknya sepanjang tidak menggunakan identitas atau nama besar NU.
Menurut Zuhdi, hal itu sesuai arahan dari Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf terkait larangan menggunakan nama organisasi untuk kepentingan politik praktis, khususnya mendekati Pemilu 2024.
Sikap tersebut, kata dia, segaris dengan hasil keputusan Muktamar Ke-28 NU di Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak pada 1989 yang tertuang dalam 9 pedoman berpolitik warga NU.
"NU menggariskan apa pun aktivitas politik jangan membawa lambang-lambang NU. Soal mau ke mana aspirasi warga monggo enggak masalah tapi jangan menggunakan fasilitas NU, lambang-lambang NU. Jadi silakan bermain secara 'fair'," tutur dia.
Zuhdi tidak heran jika banyak pihak yang terlibat dalam aktivitas politik praktis tergiur membawa nama NU karena merujuk hasil survei lembaga tertentu jumlah warga NU hampir 60 persen dari umat Islam di Indonesia.
Survei terakhir yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Agustus 2023 menunjukkan jamaah NU naik signifikan dari 27 persen pada Agustus 2005 menjadi 56,9 persen pada Agustus 2023.
"Kalau hanya dikaitkan dengan salah satu parpol katakanlah PKB, PKB kan paling hanya 10 persen dari suara warga NU. Kalau kemudian diperkecil hanya di dalam satu partai maka yang lain seolah-olah bukan orang NU," kata Zuhdi.
Oleh karena itu, menurut Zuhdi, mencatut atau mengklaim nama besar NU untuk menggaet dukungan politik praktis pihak tertentu sama dengan mengerdilkan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.
"Jadi NU jangan diperkecil dengan melihat NU dari segi organisasi politik karena banyak juga warga NU di Partai Golkar, PDIP, dan Partai Gerindra atau lainnya di mana itu kan semuanya harus dirangkul sebagai bagian dari warga NU," kata dia.
Zuhdi berpesan agar seluruh warga NU di DIY tetap menjunjung tinggi "akhlakul karimah" atau budi pekerti terpuji dalam berpolitik.
"Jangan sampai dengan perbedaan politik lalu menimbulkan gesekan, menimbulkan ketidaktenteraman masyarakat karena kita tahu pemilu kan agenda lima tahun sekali maka jangan justru mengorbankan persaudaraan dan pertemanan yang sifatnya abadi," kata dia. (Ant)