DPR Masih Silang Pendapat soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi Kebijakan Nadiem Makarim
- VIVA.co.id/Eduward Ambarita
Jakarta – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim meluncurkan Peraturan Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam program Merdeka Belajar Episode Ke-26.
Dalam peraturan itu, mahasiswa sarjana dan mahasiswa diploma 4 tidak lagi wajib membuat skripsi untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa mahasiswa diberikan sejumlah pilihan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.
Terkait hal itu, Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah mengatakan bahwa komisinya belum satu suara bahkan belum membahas soal peraturan tersebut yang membahas soal akreditasi dan standar perguruan tinggi, serta kebebasan kampus untuk menjadikan pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi sebagai syarat kelulusan.
"Kami di Komisi X memang kan belum juga satu suara untuk menyampaikan, karena kami juga sampai saat ini belum rapat tentang hal ini," kata perempuan yang akrab disapa Himma itu di Jakarta, Rabu, 13 September 2023.
Bahkan, politikus Partai Gerindra ini mengaku baru mengetahui perubahan ini dua minggu lalu, ketika ia sedang bertemu rektor-rektor seluruh Indonesia, sehingga ia pun bersama para rektor mempelajari tentang ini.
Himma secara pribadi mendukung ketentuan yang diatur pada episode ke-26 itu karena tidak adanya diskriminasi soal akreditasi kampus.
"Tapi dalam hal ini, keluarnya Permen ini saya sendiri mendukung karena ini adanya penyederhanaan, yang tadinya akreditasi mungkin terbagi A, B, C gitu, Kalau yang C pasti sudah dianggapnya. Padahal kan mungkin akreditasi C itu kualitas pendidikannya belum tentu rendah, tapi image di masyarakat kadang kalau C itu, "ah, sekolah pinggiran, sekolah kecil"," kata Himma.
"Tetapi dengan adanya peraturan baru ini saya mendukung, karena ini berarti tidak ada lagi diskriminasi terhadap kampus-kampus, itu baik tapi nanti kami minta pendapat dari [Universitas] Moestopo dan dari [Universitas] Mercu Buana," imbuhnya.
Karena itu, Himma berharap kepada pemerintah, khususnya Kemendikbudristek untuk memastikan implementasi dari Permendikbud 53 tahun 2023 episode ke-26 ini. Dia mendorong agar akreditasi ini outputnya meningkatkan mutu perguruan tinggi, bukan diskriminasi perguruan tinggi.
"Kemudian juga harus meningkatkan mutu perguruan tingginya, jadi bukan malah dengan adanya akreditasi yang terstandarnya hanya unggul dan terakreditasi dan tidak terakreditasi, kemudian ada standarnya unggul, terakreditasi internasional. Jadi kalau misalnya, prodinya sudah dapat pengakuan internasional itu juga sudah dianggap terakreditasi," ujarnya.
Selain itu, Himma pun mendorong agar kampus segera melakukan pembenahan dalam segala aspek agar banyak perguruan tinggi di Indonesia mencapai world class university.
Himma juga menyoroti belanja penelitian di Indonesia hanya sebesar 0,09 persen dari PDB (produk domestik bruto) tahun 2012, yang sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga, Singapore dan juga Malaysia. Pun demikian, kualitas sumber daya manusianya, baik dosen maupun peneliti di Indonesia.
"Kemudian masih adanya sistem penghargaan insentif yang ada membuat akademisi enggan menghasilkan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tinggi. Kemudian pengelola perguruan tinggi oleh pemerintah masih bersifat sangat terpusat, top down dan restricted ataupun membatasi," ujarnya.