Bamsoet Sepakat dengan Megawati, MPR Dikembalikan Jadi Lembaga Tertinggi Negara
- Youtube DPR RI
Jakarta - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, saat ini perlu direnungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara setelah 25 tahun lamanya memasuki era baru, era reformasi sejak tahun 1998. Untuk itu, ia sepakat dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mengusulkan jika MPR RI dikembalikan lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
“Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu,” kata Bamsoet saat Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Kura-Kura pada Rabu, 16 Agustus 2023.
Ia menjelaskan reformasi telah melahirkan perubahan Undang-Undang Dasar, yang sekian lama dianggap tabu untuk diubah. Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru.
“Penataan ulang itu terjadi pula pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara. Majelis tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945,” jelas dia.
Sementara, kata Bamsoet, manifestasi dari konsepsi kedaulatan rakyat, salah satunya mewujud pada penyelenggaraan Pemilu. Saat ini, pemerintah telah memutuskan pelaksanaan Pemilu 2024 dan semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara Luber dan Jurdil. Pelaksanaan Pemilu lima tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E Undang- Undang Dasar 1945, yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali.
“Sebagaimana diketahui, pemilihan umum terkait dengan masa jabatan anggota-anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Masa jabatan seluruh Menteri anggota kabinet, juga akan mengikuti masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama lima tahun,” ujarnya.
Namun, Bamsoet mengatakan yang menjadi persoalan adalah bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi.
“Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan / atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” ucapnya.
Dalam keadaan demikian, kata dia, timbul pertanyaan siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut, lembaga mana yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum dan bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilihan umum tertunda.
“Sedangkan, masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis? Masalah-masalah seperti di atas belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah Perubahan Undang- Undang Dasar 1945. Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa,” ungkapnya.
Di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Apakah setelah perubahan Undang-Undang Dasar MPR masih memiliki kewenangan untuk melahirkan ketetapan-ketetapan yang bersifat pengaturan.
“Hal ini penting untuk kita pikirkan dan diskusikan bersama, demi menjaga keselamatan dan keutuhan kita sebagai bangsa dan negara,” katanya.
Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang- Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, lanjut dia, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan.
"Guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik, yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar,” pungkasnya.