Pakar Ingatkan Hati-Hati Amandemen UUD Bisa Buka Kotak Pandora Politik
- Dok. Istimewa
Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menyebut rencana amandemen UUD tahun 1945 yang di endorse oleh Ketua MPR RI. Bambang Soesatyo beberapa hari belakangan ini adalah sesuatu yang normal dan lazim. Menurutnya, tidak ada yang luar biasa, itu seperti "academic discourse" yang harus dilihat secara objektif.
Fahri berpendapat bahwa memang ada persoalan besar dan riskan yang sebenarnya belum sepenuhnya mendapat jalan keluar dari konstitusi saat ini. Jika keadaan yang demikian itu terjadi, misalnya secara akademik, dalam UUD 1945 telah dengan tegas mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Pengaturan yang sebangun dengan itu adalah masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, Menteri adalah lima tahun.
Karena itu, kata Fahri, ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tegas mengatur bahwa pemilihan umum dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Maka menjadi pertanyaan teoritik adalah jika sekiranya terjadi sebuah keadaan-keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti baik karena adanya bencana alam yang dahsyat, adanya pandemi, adanya pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden masih dapat mengatasi hal tersebut,” kata Fahri dalam keterangannya, Kamis, 10 Agustus 2023.
Namun demikian, lanjut dia, bagaimana sekiranya jika terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat (Mendagri, Menlu dan Menhan) beserta jajaran yang lain lumpuh atau berhalangan tetap secara serentak sehingga situasi keadaan bahaya itu sama sekali tidak dapat diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada.
Atau keadaan darurat negara sehingga pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi, maka secara hukum tentunya tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai sebuah produk Pemilu, sehingga keadaan demikian, timbul pertanyaan siapa yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?
Fahri berpendapat bahwa UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan "constitutional deadlock". Sebab, kata dia, jika situasi seperti itu benar benar terjadi, sehingga salah satu materi amandemen kelima adalah terkait hal itu.
“Dan secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang kesemuanya adalah produk pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat "sovereignty", maka prinsip kedaulatan rakyat itulah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut, atas dasar itu, sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD, sebagai representasi dari prinsip daulat Rakyat, maka MPR dapat di atribusikan dengan kewenangan serta kewajiban hukum untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya tersebut, itulah keniscayaan konstitusional yang dapat dilakukan dengan instrumen amandemen kelima UUD 1945,” ujarnya.
Selain itu, kata Fahri, dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 memang dibutuhkan suatu sikap kehati-hatian yang tinggi. Karena sangat potensial materi perubahan itu dapat membuka kotak pendora, serta menyasar kemana-mana, sehingga proses akandemen menjadi tidak fokus serta akan potensial menyasar pada isu-isu yang telah selesai. Misalnya, lanjut dia, isu masa jabatan presiden yang sebenarnya tidak perlu lagi dibicarakan.
“Sesungguhnha yang paling esensial dalam amandemen ini adalah terkait dengan isu organ konstitusioanl seperti MPR diatribusikan dengan kewenangan mengatasi keadaan darurat negara; kemudian penguatan DPD RI serta perlu di adopsinya pengaturan terkait PPHN sebagai dokumen otoritatif arah berbangsa dan bernegara, selebihnya harus dibatasi secara tegas,” kata Fahri.
Fahri mengatakan bahwa hendaknya amandemen konstitusi jangan dilakukan oleh anggota MPR yang ada saat ini, tapi kalaupun amandemen mau dilakukan, harus dengan MPR hasil Pemilu tahun 2024. Menurutnya, agar tingkat legitimasi politiknya lebih tinggi serta proses perubahan dilakukan dalam keadaan tenang serta kondusif.
“Agar pandangan serta pikiran-pikiran konstitusionalisme benar benar muncul tanpa ada agenda jangka pendek, serta pragmatis, amandemen harus ideal dengan memandang bahwa kebutuhan perubahan (amandemen) UUD 1945 bertujuan untuk bernegara dalam jangka waktu yang panjang,” imbuhnya.