Ketua Bawaslu Siap Jelaskan kepada DPR soal Usulan Penundaan Pilkada 2024
- VIVA/Rosikin
Jakarta -Â Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyatakan siap memenuhi undangan DPR RI demi menjelaskan usulan penundaan pemilihan kepada daerah (Pilkada) Serentak 2024.
"Oh siap, kami akan jelaskan," ujar Bagja di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Selasa, 25 Juli 2023.
Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah membahas usulan penundaan Pilkada Serentak 2024 dalam forum resmi. Pada saat itu, mereka sedang membahas berbagai permasalahan pilkada yang harus diselesaikan.
"Ini ramainya karena terus diberitakan. Sebenarnya kalau dilihat pernyataan itu sudah jelas, bahwa itu dalam rapat tertutup bukan kemudian pernyataan resmi lembaga bahwa pilkada harus ditunda, itu tidak," jelasnya.
Bagja menilai penyelenggara pemilu harus belajar dari pemilu sebelumnya. Faktor keamanan pemilu sudah terpenuhi saat ini, sehingga dia tidak mempermasalahkan penundaan pemilu.
"Penundaan itu bukan pernyataan lembaga dan juga dalam diskusi tersebut bukan hanya pembahasan mengenai alternatif, tapi juga kemungkinan bisa terjadi," kata Bagja.
Sebelumnya, pada Selasa (18/7), Komisi II DPR RI memanggil Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI terkait pernyataan soal penundaan Pilkada 2024.
"Ya pasti nanti pada waktunya kami panggil, kami tanyakan. Itu pasti kami tanyakan, dulu saja KPU (Komisi Pemilihan Umum) kontroversi begitu kami panggil terus kami tanyakan, akhirnya kan jelas juga," kata Wakil ketua Komisi II DPR RI, Yanuar Prihatin, saat dihubungi, Selasa.
Meski belum dapat memastikan tanggal pasti, Yanuar menegaskan, pemanggilan ini akan berlangsung dalam waktu dekat.
"Ya nanti kalau sudah ada jadwalnya pasti teman-teman pers juga diberi kabar. Tidak tahu nih, kan jadwal kesepakatan anggota biasanya. Nanti kita dalam waktu dekat memungkinkan apa enggak," jelasnya.
Soal penundaan pilkada tentu bukan hal yang mudah. Sebab, menurut pria dari fraksi PKB ini tahapan pemilu dan pilkada sudah dirancang jauh-jauh hari.
Artinya, jika penundaan jadwal tentu harus diubah juga aturan perundang-undangannya.
"Dan itu bukan persoalan ringan karena memerlukan persetujuan DPR dan pemerintah," tutur Yanuar. (ant)