Eks Ketua Komnas HAM: Aksi Kekerasan KKB di Papua Makin Brutal dan Sadistis
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta – Mantan ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mencermati perhatian dunia internasional terhadap masalah di Papua mulai meningkat kembali akhir-akhir ini. Alih-alih mereda, sejak awal tahun 2023, berbagai kekerasan dan konflik terjadi lagi di Papua.
"Apalagi belakangan ini kekerasan bahkan cenderung makin brutal dan sadistis, termasuk yang dilakukan KKB (kelompok kriminal bersenjata) kepada aparat maupun orang sipil," kata Taufan dalam keterangan tertulisnya kepada VIVA pada Kamis, 6 Juli 2023.
Kasus yang paling menyita perhatian publik, dia mengingatkan, adalah penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Marthens (sejak 7 Februari 2023 sampai sekarang) dan pembunuhan terhadap prajurit TNI. Sebelum itu, juga terjadi pembunuhan secara sadis terhadap pekerja sipil oleh KKB, mutilasi terhadap warga sipil oleh anggota TNI di Mimika, tewasnya belasan warga sipil oleh aparat keamanan di Wamena dan berbagai insiden kekerasan lainnya.
Satu-satunya kasus yang berhasil diselesaikan dengan sangat baik, menurutnya, adalah kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap warga sipil Papua di Mimika, Papua Tengah.
Penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Marthens paling menarik perhatian internasional saat ini, katanya, sebab kasus itu belum berhasil dituntaskan padahal sudah berlangsung hampir enam bulan. Meski tindakan KKB kelompok Egianus Kogoya sangat tidak bisa dibenarkan dan dikecam banyak pihak bahkan di luar negeri, jaminan keamanan nasional khususnya di Papua tetaplah menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia.
"KKB kelompok Egianus melanggar berbagai ketentuan hukum internasional dan hak asasi manusia, sementara pemerintah ditanyai tanggung jawab keamanan karena Papua adalah bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar ketua Komnas HAM RI periode 2017-2022 itu.
Dia menenagarai, kekerasan-kekerasan di Papua menandai eskalasi kekerasan yang meningkat sejak 2019, persis setelah peristiwa konflik bernuansa sentimen rasial yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya dan memicu demonstrasi berujung kerusuhan di berbagai wilayah di Papua.
Yang paling parah, katanya, kerusuhan di Wamena yang menyebabkan 30-an korban terutama para pendatang dari luar Papua yang tinggal di daerah tersebut. Setelahnya, berbagai rangkaian kekerasan terjadi di banyak tempat di Papua, khususnya di daerah pegunungan yang merupakan basis terkuat OPM/KKB, yang mengakibatkan korban di semua pihak, TNI/Polri, KKB, terutama warga sipil baik orang asli Papua (OAP) maupun para pendatang.
Pada 11 November 2022, Komnas HAM telah mengupayakan Perjanjian Jeda Kemanusiaan yang memuat, antara lain, penghentian kekerasan dari semua pihak baik TNI/Polri maupun OPM. Selanjutnya semua pihak akan melakukan tugas kemanusiaan, yakni secara bersama-sama mengurusi pengungsi dan tahanan.
Jika 'projek percontohan' itu berhasil, Jeda Kemanusiaan akan dikembangkan di daerah konflik lainnya. Langkah ini sekaligus akan menjadi modal awal untuk membangun kepercayaan antarpihak bersengketa untuk selanjutnya bernegosiasi politik yang lebih substantif.
Menurut Taufan, Perjanjian Jeda Kemanusiaan itu sempat memberikan harapan bagi banyak pihak, terutama masyarakat di Papua. Komnas HAM telah meyakinkan pemerintah dan bahkan beberapa pimpinan bersenjata OPM di beberapa markas mereka untuk berdialog dan berkomitmen pada Perjanjian Jeda Kemanusiaan.
"Sayangnya, perjanjian Jeda Kemanusiaan yang merupakan langkah baik ini tidak diteruskan bahkan dibatalkan sepihak oleh Komnas HAM periode 2022-2027 tanpa alasan yang mendasar serta tanpa konsultasi dengan berbagai pihak yang telah menyiapkan Perjanjian Jeda Kemanusiaan Papua, terutama dengan pihak Papua," ujarnya.
Belajar dari Aceh
Belajar dari pengalaman konflik di Aceh maupun di negara-negara tetangga lainnya, Taufan mengingatkan, satu-satunya jalan adalah perundingan damai. "Kita memiliki 'success story' penyelesaian konflik, yakni Aceh melalui perundingan damai yang menghasilkan Perjanjian Helsinki."
Di negara lain berbeda cerita, katanya mencontohkan satu per satu konflik di beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Konflik separatisme yang terjadi di Filipina Selatan antara pemerintah dengan bangsa Moro, masih pasang-surut sampai saat ini. Di Thailand Selatan, konflik juga antara pemerintah dengan muslim Pattani yang ingin memisahkan diri.
Myanmar bahkan lebih rumit antara pemerintah dengan opisisi pimpinan Aung San Syu Ki, juga dengan kelompok suku-suku seperti Karen, Kachin, dan Rohingya, yang yang malah diwarnai kejahatan genosida.
"Tak satu pun pendekatan keamanan sukses menyelesaikan masalah. Yang terjadi korban manusia dan harta benda terus berjatuhan. Peradaban manusia secara pasti menuju kehancuran," ujarnya.
Memang, dia berpendapat, tidak mudah menempuh jalan damai. Aceh contoh terbaik meski beberapa kali pernah gagal sebelum Perjanjian Helsinki ditandatangani.
Filipina Selatan bahkan puluhan tahun diupayakan, menurut Taufan, masih saja situasinya naik-turun. Thailand kembali memanas walau belakangan ini pihak pemerintah dan kelompok perlawanan sudah kembali memulai dialog damai. "Myanmar, sebaliknya, capaian baik yang sudah pernah diraih untuk beberapa tahun, kembali ke titik nadir dengan munculnya pemerintahan junta militer hasil kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Aung San Syu Ki yang dinilai tidak becus memerintah dan mengatasi konflik selanjutnya."
"Sekali lagi," dia menekankan, "belajar dari penanganan konflik di Indonesia maupun negara lain, jelaslah bahwa pendekatan keamanan tidak bisa menyelesaikan permasalahan bahkan cenderung memperluas konflik; malah menimbun dendam sosial yang berkepanjangan sehingga konflik makin sulit diselesaikan."