Gara-gara Tolak Mengutuk Bung Karno, Sudaryanto Kehilangan Kewarganegaraan RI pada 1965

Peringatan Tragedi 30 September 1965
Sumber :
  • Foto:ANTARA/Sigid Kurniawan

Pidie – Para eksil korban pelanggaran HAM berat menceritakan bagaimana tragedi 1965 membuat mereka tak bisa kembali ke Tanah Air saat menjadi mahasiswa di luar negeri.

Eks Wantimpres Kecewa, Bilang Harusnya Jokowi Jadi Negarawan saat Pilkada

Salah seorang eksil, Suryo Hartono, menceritakan kisahnya tersebut di depan Presiden Joko Widodo dan tamu undangan lainnya pada acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, Selasa, 27 Juni 2023.

"[saya] tidak bisa kembali [ke Indonesia] karena saya dicabut paspor," kata Suryo Martono saat berbincang dengan Presiden Joko Widodo, seperti ditayangkan dalam video yang diunggah akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa.

Jokowi Bertemu Kiai Khos NU Jawa Tengah di Solo Jelang Pencoblosan Pilkada, Ada Apa

Monumen Pancasila Sakti

Photo :
  • ANTARA/Widodo S. Jusuf

Suryo bercerita bahwa saat tragedi Gerakan 30 September 1965, dia tengah menempuh pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) RI.

Hasto Sebut Partai Coklat Masif Bergerak di Pilgub Sumut: Kami Khawatir dengan Pak Edy Rahmayadi

Kemudian pada 30 September 1965 terjadi peristiwa di Tanah Air yang mengakibatkan dicabutnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana.

“Saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko waktu itu dicabut semua [paspornya] karena tidak mau, kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru,” cerita Suryo.

Suryo pun mengapresiasi program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Monumen Pancasila Sakti

Photo :
  • ANTARA/M Agung Rajasa

Suryo menilai hal tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap para korban dan berharap generasi muda tidak mengalami nasib-nasib seperti pada 12 kasus HAM berat yang telah terjadi.

Sementara itu eksil lainnya, Sudaryanto Priyono, bercerita bahwa akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah mengenyam pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia, kehilangan status kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia.

"Karena saya tidak memenuhi syarat skrining terhadap itu dilakukan di mana, di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno, ini yang langsung tidak saya terima, dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya menerima surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan," katanya.

Sudaryanto menyebut bahwa langkah yang diambil pemerintah ini merupakan langkah yang penuh keberanian dan menunjukkan kebijaksanaan yang penuh dengan tanggung jawab. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya