Demokrat Tolak Pengesahan RUU Kesehatan, Ungkit Amanat UU Era Presiden SBY

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin (tengah) menandatangani draf RUU Kesehatan yang disetujui oleh 7 dari 9 fraksi di Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin, 19 Juni 2023.
Sumber :
  • ANTARA/Andi Firdaus

Jakarta – Fraksi Partai Demokrat DPR RI tegas menolak keputusan Komisi IX DPR RI dan Pemerintah yang membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Komjen Setyo Budiyanto Terpilih jadi Ketua KPK, Yudi Purnomo: Ada Tugas Berat Memulihkan Kepercayaan Publik

Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham mengatakan, dalam pendapat akhir mini fraksi atas RUU Kesehatan di Komisi IX DPR RI, Senin, 19 Juni, fraksinya yang tidak menandatangani kesepakatan tersebut, bersama Fraksi PKS, menyampaikan sejumlah catatan penting.

“Demokrat sudah mengusulkan dan memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan (mandatory spending) di luar gaji dan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun usulan ini tidak diterima, sebaliknya, pemerintah lebih memilih mandatory spending kesehatan dihapuskan,” kata Aliyah dalam keterangannya diterima wartawan, Selasa, 20 Juni 20023.

DPR Telah Pilih Lima Dewas KPK Periode 2024-2029, Tumpak Hatorangan: Mudah-mudahan Lebih Baik

Ilustrasi: Suasana Rapat Paripurna DPR RI

Photo :

Aliyah mengatakan, penghapusan belanja atau pengeluaran negara untuk kesehatan dalam RUU itu memang menjadi kontroversi di masyarakat, khususnya pemangku kepentingan dunia kesehatan. Hal ini terkait dengan kekhawatiran bahwa layanan kesehatan akan makin memburuk.

Profil 5 Dewas KPK Periode 2024-2029, Ada Eks Jenderal Polisi hingga Mertua Komika Kiky Saputri

“Ini kan memang suara masyarakat, khususnya dari dunia kesehatan. Alokasi anggaran 5 persen dari total APBN itu harusnya justru ditambah, bukan malah dihapus, karena akan terkait langsung dengan layanan kesehatan terhadap masyarakat,” kata Aliyah.

Dalam pandangannya, Fraksi Demokrat juga menegaskan bahwa penghapusan mandatory spending kesehatan menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Bagi Demokrat, klaim Aliyah, anggaran yang dihapus ini masih sangat diperlukan karena layanan kesehatan juga akan terkait langsung dengan upaya mencapai tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024 telah ditetapkan sasaran IPM mencapai 75,54 persen. Sementara pada tahun 2022 tingkat IPM baru mencapai 72,91 persen. Begitu pula jika dibandingkan dengan negara lain, peringkat IPM Indonesia masih berada pada urutan 130 dari 199 negara menurut Bank Dunia.

Ilustrasi rumah sakit.

Photo :
  • Pixabay/1662222

"Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamanatkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada era pemerintahan Presiden Ke- VI RI, Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya,” kata Aliyah.

Aliyah juga memaparkan ketidaksetujuan fraksinya terhadap indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan. Demokrat tidak anti dengan kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing, katanya, namun perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi seperti pembiayaan dan dampak yang dikhawatirkan semua pihak.

“Kami tak anti dengan kemajuan dan keterbukaan terhadap tenaga kerja asing, namum kami tak setuju terhadap adanya indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan,” kata Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I itu.

Demokrat menilai proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup sehingga terkesan sangat terburu-buru. Jika ruang dan waktu dibuka lebih panjang lagi, dia meyakini RUU itu dapat lebih komperhensif, holistik, berbobot, dan berkualitas.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya