MK Sarankan Perubahan Sistem Pemilu Harus Lebih Awal dari Tahapan Pemilu

Hakim Konstitusi Saldi Isra
Sumber :
  • MK

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menyarankan para pembuat undang-undang agar jika melakukan perubahan sistem pemilu harus dilakukan lebih awal dari tahapan penyelenggaraan pemilu. 

MK Putuskan KPK Berwenang Selidiki Kasus Korupsi yang Libatkan Oknum Militer, Ini Kata Mabes TNI

Hal tersebut merupakan salah satu dari lima catatan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra atas hal yang harus diperhatikan dalam melakukan perubahan sistem pemilu.

"Kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan," ujar Saldi Isra saat membacakan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal sistem pemilu di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 15 Juni 2023.

MK Tegaskan KPK Berwenang Usut Korupsi Militer: Kesampingkan Budaya Sungkan dan Ewuh Pakewuh

Polisi berjaga-jaga di dekat Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu 26 Juni 2019.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Poin kedua, kata Saldi, perubahan sistem pemilu tidak boleh terlalu sering dilakukan demi kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilihan umum. Ketiga, perubahan sistem pemilu harus ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku.

MK Sudah Siap Terima Permohonan Sengketa Pilkada 2024, Ini Tahapannya

"Terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum," katanya.

Keempat, katanya, kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

"Dan kelima apabila dilakukan perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation," pungkasnya.

Penghitungan Surat Suara Pemilu 2019. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Peran sentral partai politik

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis, menolak permohonan para pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat.

Dalam persidangan yang sama, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.

"Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentralnya dalam kehidupan berdemokrasi," kata Saldi Isra.

Menurut Mahkamah, dia menyampaikan, sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para pemohon berlebihan.

"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra.

MK menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI). (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya