Sidang Pembacaan Putusan Pemilu Hanya Dihadiri 8 Hakim Konstitusi
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pembacaan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem pemilu digelar hari ini, Kamis, 15 Juni 2023. Namun, sidang pleno itu hanya dihadiri oleh 8 dari total 9 hakim konstitusi.
Sidang pleno dihadiri hakim konstitusi Anwar Usman, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara itu, hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak terlihat di dalam ruang sidang.Â
"Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono saat dihubungi, Kamis, 15 Juni 2023.
Fajar menjelaskan, sidang pleno MK seharusnya dihadirkan 9 hakim konstitusi. Namun, dalam kondisi luar biasa, kata dia, sidang pleno dapat dihadiri tujuh hakim namun putusan tetap sah. "Kurang dari 7 hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan," ujarnya
Â
Diketahui, hari ini MK dijadwalkan membacakan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem pemilu. Pembacaan putusan ini dilakukan secara bergantian dengan 5 putusan lainnya pada Kamis hari ini.
Dalam perkaranya, MK sudah menerima permohonan uji materi atau judicial review terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Enam pemohon yang mengajukan judicial review yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto , dan Nono Marijono. Suara penolakan bermunculan terhadap wacana proporsional tertutup.
Dari parlemen DPR, mayoritas sebanyak 8 dari sembilan fraksi kompak menyatakan menolak sistem pemilu tertutup. 8 fraksi di DPR itu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. PDIP jadi satu-satunya Fraksi di DPR yang mendukung proporsional tertutup.
Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.Â
Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Menurut para pemohon, sistem pemilu proporsional terbuka akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Loyalitas calon anggota legislatif yang terpilih cenderung lemah dan tidak tertib pada garis komando partai politik.