Akan Diputus MK, Fahri Hamzah Singgung Dampak Buruk Jika Kembali ke Sistem Pemilu Tertutup

Fahri Hamzah, Waketum Partai Gelora
Sumber :
  • Partai Gelora

Jakarta – Mahkamah Konstitusi atau MK, akan memutuskan gugatan sistem pemilu Indonesia pada Kamis 13 Juni 2023. Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, membeberkan dampak buruk jika pemilu kembali menggunakan proporsional tertutup.

Pilkada oleh DPRD Menghidupkan Demokrasi Perwakilan, Menurut Anggota DPR

Sejak Pemilu 2009, sudah menggunakan sistem proporsional terbuka. Dimana masyarakat mencoblos calon anggota legislatif dan yang mendapat suara terbanyak yang lolos. Tidak berdasarkan nomor urut seperti dalam proporsional tertutup.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora (Gelombang Rakyat) Indonesia, Fahri Hamzah, berharap para Hakim Mahkamah tetap memutuskan proporsional terbuka di Pemilu 2024 ini. Menurut Fahri, dalam demokrasi semakin terbuka maka itu semakin demokratis.

MK Korsel Perintahkan Presiden Yoon Serahkan Dekrit Darurat Militer

"Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi, serta tradisi pemilu demokratis atau demokrasi dalam pemilu. Karena sesungguhnya, kalau kita bicara tradisi demokrasi, maka tradisinya adalah masyarakat terbuka dan pemilu terbuka," kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, dikutip Selasa 13 Juni 2023.

Demokrasi kata Fahri, tidak boleh lagi dikembalikan ke belakang. Sistem proporsional tertutup menurutnya tidak bisa lagi digunakan karena paham otoriter. Sedangkan Indonesia sudah membuka diri sebagai negara yang demokratis. 

Pengamat Ungkap Sejumlah Dampak Negatif jika Pilkada lewat DPRD

"Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar semua berpartisipasi bagi kebaikan bersama," katanya.

Fahri yang pernah menjadi Wakil Ketua DPR RI 2014-2019, itu menilai kalau diterapkan lagi proporsional tertutup untuk pemilu legislatif, sangat membahayakan demokrasi. 

Dia beralasan, sistem tertutup membuat partai sebagai pemegang kontrol terhadap kadernya. Terutama kader-kader yang duduk di legislatif, apakah itu DPR RI hingga DPRD. Jika demikian, maka bukan lagi rakyat yang punya kontrol pada anggota dewan mereka.
    
"Sistem tertutup itu berbahaya, karena kontrol pimpinan partai kepada anggota dewan akan makin kencang. Dalam sistem proporsional tertutup, siapapun yang menjadi anggota dewan akan ditentukan penuh oleh mekanisme partai, yakni dipilih oleh ketua umum," jelas Fahri.

Bila sistem tertutup digunakan, maka rakyat hanya memilih partai. Maka siapapun yang dipilih partai untuk di parlemen, akan memiliki kontrol terhadap itu secara menyeluruh.
    
“Maka anggota dewan bisa disuruh diam, tidak perlu dengar rakyat. Kamu diam, dengerin ketua umum. Karena nyawamu di ketua umum, nyawamu di sekjen, maka kamu diam. Saya bilang diam kamu diam," ujarnya.

Sebaliknya apabila tetap proporsional terbuka. Rakyat yang memilih langsung individu calon anggota legislatifnya. Maka seluruh kontrol bisa dilakukan oleh rakyat. Sebab akan berdampak pada elektoral anggota DPR ketika menjabat apabila mereka tidak bisa memenuhi keinginan rakyat. 

"Kalau kita (pakai sistem proprosional) terbuka rakyat yang milih. Saya kalau salah nggak akan terpilih lagi oleh rakyat," terang Fahri.

Karena saat ini soal sistem terbuka atau kembali tertutup ada di tangan para Hakim MK, dia berharap kalau keputusan tetap pada proporsional terbuka. 

"Harus tetap terbuka, sistemnya harus terbuka," tegas calon legislatif Partai Gelora dari Dapil NTB I ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya