Tanggapi Denny Indrayana soal Pemakzulan Jokowi, Pakar: Not Easy and Complicated

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid.
Sumber :
  • (ANTARA/HO-Ist).

Jakarta- Cara eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana yang mengirim surat ke DPR untuk meminta dilakukan impeachment atau pemakzulan Presiden Jokowi jadi sorotan. Denny meminta demikian karena Jokowi dinilai cawe-cawe, tak netral di Pemilu 2024.

Capim KPK Jalani Fit and Proper Test, DPR Diingatkan Jangan Ulangi Kesalahan Terdahulu

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menanggapi langkah Denny. Menurut dia, permintaan Denny sederhananya bisa dilihat sebagai aspirasi politik yang disampaikan kepada DPR.

Dia menjelaskan DPR sebagai lembaga yang mempunyai kewenagan konstitusional untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah proses pemakzulan atau impeachment kepada seorang kepala negara.

Uji Kelayakan Capim KPK, DPR Mulai dengan Pengambilan Nomor Urut dan Pembuatan Makalah

Menurutnya, hal itu sesuai dengan amanat yang diatur dalam Pasal 7A UUD NRI tahun 1945 yang mengatur bahwa "Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.

"Tentunya DPR jika berkehendak untuk melakukan pemakzulan kepada presiden dan atau wakil presiden, pastinya dengan mendasari serta berpijak pada kewenagan konstitusional berupa melakukan pengawasan dengan mengunakan beberapa instrumen haknya, di antaranya adalah hak angket atau hak menyatakan pendapat untuk menyelidiki potensi pelanggaran konstitusi tersebut,” kata Fahri, dalam keterangannya, Kamis, 8 Juni 2023.

DPR Ingatkan Kejagung Jangan Ada Motif Pesanan dalam Kasus Tom Lembong

Mantan

Photo :
  • 656130

Fahri menyampaikan, jika memang terbukti ada fakta-fakta yuridis terkait dugaan pelanggaran hukum, maka dapat dilakukan proses impeachment dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD 1945.

Isi ketentuan aturan itu yaitu "usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat bahwa Presiden atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden".

Fahri berpandangan bahwa konstruksi hukumnya demikian. Namun, kata dia, impeachment kepada presiden atau wakil presiden pada hakikatnya tidak mudah serta ‘very complicated’.

Menurut dia, langkah konstitusional memakzulkan Presiden atau wakil presiden pada dasarnya sengaja dibuat berat dan rumit dengan melibatkan tiga lembaga negara, yakni DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) serta MPR. Dengan demikian, secara akademik dapat dikatan pemakzulan atau impeachment adalah "extraordinary political event" di dalam sistem Presidensil.

Dikatakan Fahri, hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan pemakzulan atau impeachment sebagai sebuah mekanisme yang legal dan efektif untuk mengawasi tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi. Tujuannya agar tak terjadi penyalahgunaan wewenang dan tetap berada pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip 'rule of Law'. Kata dia, konstitusi mengatur mekanisme tersebut.

"Hal ini sejalan dengan prinsip serta kaidah pemerintahan sistem presidensialisme, yang mana tekanannya agar seorang kepala negara hanya boleh diberhentikan dengan alasan hukum, dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis," jelasnya.

"Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlemen saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara di jatuhkan," kata Fahri.

Lebih lanjut, dia mengatakan hal tersebut bisa dicermati dari mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan yang sengaja didesain sedemikian rupa. Hal itu agar tidak dengan mudah 'article of impeachment' itu didorong anggota parlemen, baik ke MK maupun ke MPR untuk digelar sidang istimewa.

Dia bilang dapat dipahami dari rumusan norma konstitusional yang mengatur bahwa Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.  

Kemudian, dia mengatakan, saat proses itu harus berakhir di MPR, tentu mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan di MPR yang teramat berat sesuai rumusan serta konstruksi normanya.

Rumusan aturan itu "Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR".

Menurut dia, wacana pemakzulan yang dilontarkan Denny secara akademik bisa dimaknai sebagai 'academic discourse'.

"Dan, secara politik agar anggota DPR RI menyikapinya sesuai kewenangan konstitusional yang ada, tetapi secara politis saya berpendapat not easy and complicated," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya