Denny Indrayana Tak Gentar Dilaporkan ke Bareskrim: Memasukkan Tangan Paksa Negara

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Galih Pradipta

VIVA Politik – Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana tak gentar atas pelaporan terhadapnya ke Bareskrim Polri. Praktisi hukum itu dipolisikan karena pengakuannya soal bocoran putusan Mahkamah Konstitusi ihwal sistem pemilu.

DPR Dorong Audit Dana Hibah Pemilu dan Pilkada Serentak 2024

Denny Indrayana dilaporkan atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian, berita bohong, penghinaan terhadap penguasa, dan pembocoran rahasia negara.

Pelaporan terhadap Denny Indrayana tertuang dalam dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/128/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI dengan pelapor atas nama AWW. Denny dilaporkan pada Rabu, 31 Mei 2023.

Bawaslu RI Imbau Pengawasan Pilkada Harus Santun dan Riang Gembira

Denny menyampaikan siapapun boleh melaporkan kepada pihak kepolisian. Sebab, dia bilang hal itu sebagai hak yang diberikan negara terhadap warga negaranya. Namun, ia mengatakan, hak tersebut mesti digunakan secara tepat dan bijak.

"Baiknya, tidak semua hal dengan mudah dibawa ke ranah pidana. Seharusnya, persoalan wacana dibantah dengan narasi pula. Bukan memasukkan tangan paksa negara, apalagi proses hukum pidana," kata Denny dalam keterangannya yang dikutip pada, Senin, 5 Juni 2023.

MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

Pun, Denny menduga isu yang ia sampaikan rentan dengan kriminalisasi lawan politik. Apalagi, kata dia, isu ini mencuat di tengah-tengah jalan menuju Pilpres 2024.

Dia khawatir instrumen hukum justru disalahgunakan untuk membungkam sikap kritis dari kalangan oposisi.

Mantan Wamenkumham Denny Indrayana

Photo :
  • ANTARA/Maria Cicilia Galuh

Kemudian, ia menambahkan informasi yang disampaikannya tak lebih sebagai upaya mengontrol putusan MK sebelum dibacakan. Sebab, putusan MK bersifat final and binding.

Dia menyebut tak ada upaya hukum apa pun dan langsung mengikat begitu dibacakan dalam sidang.

"Putusan yang telah dibacakan harus dihormati dan dilaksanakan. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada lagi ruang koreksi," ujar Denny.

Dia lalu menyinggung putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagi Denny, putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri Cs tersebut juga terkesan politis mengingat dilakukan menjelang Pemilu 2024.

"Putusan itu juga menguatkan ada agenda strategi Pilpres 2024 yang dititipkan kepada perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri Cs," tutur Denny.

Bagi Denny, putusan terkait sistem pemilu legislatif sangat penting dan strategis Menurut dia, hal itu jadi perhatian banyak kalangan.

Menurut Denny, isu itu bukan sekadar urusan partai maupun bacaleg. Tapi, kata dia, juga paling penting mempengaruhi kadar suara rakyat pemilih yang tidak lagi punya bobot menentukan jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup alias hanya memilih gambar partai.

Maka itu, menurut dia, pengawalan publik sebelum putusan dibacakan, sangat penting.

"Dengan mengungkap informasi kredibel bahwa MK berpotensi memutus sistem proporsional tertutup, saya mengundang khalayak luas untuk mencermati dan mengkritisi putusan yang akan dikeluarkan tersebut," lanjut Denny.

"Jangan sampai putusan terlanjur ke luar dan membuat demokrasi kita kembali mundur ke sistem pemilu proporsional tertutup ala Orde Baru yang otoritarian dan koruptif," kata Denny.

Kemudian, ia juga menyoroti saat ini sistem peradilan di Indonesia masih belum ideal. Dia bilang demikian karena hal itu rentan intervensi kuasa dan masih maraknya praktik mafia peradilan.

Menurut Denny, tak cukup hanya menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses di ruang sidang.

Maka itu, menurutnya, untuk memperjuangkan keadilan, harus ada kontrol melalui kampanye publik dan kampanye media.

Terlepas dari itu semua, Denny mengaku siap menghadapi proses hukum terkait pelaporan atas dirinya ke Bareskrim. Namun, dengan catatan proses itu tidak disalahgunakan untuk pembungkaman.

"Saya akan menghadapi proses hukum yang sedang berjalan, dengan catatan proses itu tidak disalahgunakan untuk pembungkaman atas hak asasi kebebebasan berbicara dan berpendapat," tuturnya.

Dia menyoroti kasus yang dialami dua rekan aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Dia mengatakan jika prosesnya bergeser menjadi kriminalisasi kepada sikap kritis, maka ia siap menggunakan hak hukumnya.

"Untuk melakukan pembelaan melawan kezaliman dan melawan hukum yang disalahgunakan," ujarnya.

Gedung Mahkamah Konstitusi

Putusan MK soal Hukuman bagi Aparat Tak Netral dalam Pilkada Kurang Berefek Jera, Kata Akademisi

Akademisi mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hukuman bagi ASN, pejabat daerah, dan TNI/Polri yang tidak netral dalam pilkada sudah bagus.

img_title
VIVA.co.id
16 November 2024