Aktivis 98 Kritik Tajam Pemerintah Jokowi: Gemar Bikin Perppu

Penghitungan surat suara Pemilu 2019 (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik - Sejumlah aktivis dari berbagai elemen menggelar forum diskusi Konsolidasi Demokrasi Aktivis 98 terkait dampak penundaan pemilu terhadap hukum, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Wacana penundaan pemilu masih dihembuskan sejumlah elite politik.

Jokowi Ajak 2 Cucunya Nonton Laga Timnas Indonesia Vs Filipina di Manahan

Demikian jadi bahasan dalam diskusi tersebut. Salah seorang aktivis 98, Setyo Purwanto menyebut ada aktor-aktor politik yang masih menggaungkan tentang penundaan pemilu. Bagi dia, hal itu menunjukkan mereka ada dalam satu orkestra.

“Sehingga kita bisa melihatnya bahwa penundaan pemilu adalah bagian dari strategi rezim untuk bertahan dalam kekuasaannya,” kata Komeng, sapaan akrabnya, dalam keterangannya, Kamis, 6 April 2023.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Menurut dia, era pemerintahan Jokowi adalah rezim yang gemar bikin Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kata dia, semua yang dianggap mengganggu kekuasaan politik rezim maka akan diterbitkan perppu.

Dia bilang demikian karena era Jokowi sudah beberapa kali perppu diterbitkan seperti KPK hingga Cipta Kerja atau Ciptaker.

Penjelasan OIKN soal Heboh Aguan Investasi di IKN Demi Selamatkan Jokowi

“Seperti KPK, Corona, Ciptaker. Dikhawatirkan akan muncul tiba-tiba perppu penundaan Pemilu," ujar Komeng.

Diskusi aktivis 98.

Photo :
  • Istimewa

Pun, menurutnya kualitas demokrasi di Tanah Air saat ini masih jauh dari yang berkualitas. “Walau klaimnya adalah demokrasi Pancasila. Karena tanpa ada keadilan, demokrasi tidak bermanfaat,” tutur Komeng.

Lalu, aktivis 98 dari Forum Kota, Niko Adrian, menyinggung dari sisi hukum bila pemilu ditunda. Dia bilang, konstitusi dan aturan hukum di bawahnya telah mengatur proses demokrasi Indonesia secara reguler harus berjalan.

“Amandemen UUD 45 pasal 22 e ayat 1 pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Termasuk dalam UU Nomor 7 tentang Pemilu," ujar Niko.

Niko menambahkan ada persepsi dari pendukung penundaan pemilu yang menyatakan sebelumnya ada preseden yang diatur dalam TAP MPR. Namun, ia menepis argumen itu karena faktanya 1977 bukan penundaan karena memang belum diatur Pemilu adalah 5 tahun sekali.

“Justru TAP MPR 1998 membuat percepatan Pemilu 1999. MPR saat ini tidak dapat membuat TAP lagi karena tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara,” jelas Niko.

Dia mengatakan satu-satunya alasan penundaan pemilu, jika terjadi kondisi kerusuhan atau bencana alam atau SOB.

"Upaya menciptakan kerusuhan ini yang harus kita waspadai bersama agar bisa dicegah sehingga tidak ada alasan untuk menunda pemilu," ujar Niko.

Sementara, aktivis  98 lainnya, Ubedillah Badrun dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) menyampaikan dampak yang ditimbulkan dari penundaan pemilu akan munculkan ketegangan sosial. Ia juga mengkritisi harapan rakyat akan pupus dengan penundaan pemilu. 

"Disharmoni antar warga akan menjadi manifest sebagai konflik sosial. Saat terjadi amok konflik sosial dll maka secara tidak langsung membuka karpet merah hadirnya kembali Tentara di pucuk pimpinan nasional," ujar Ubedillah.

Hal yang sama disampaikan Dandhi Mahendra juga dari FKSMJ. Dia menelisik dampak terhadap budaya saat pemilu ditunda karena bangsa RI akan mengalami kemerosotan.

“Korupsi merajalela, kekerasan berlangsung dimana-mana, dan penguasa tidak menunjukan ketauladanan sebagai cermin budaya bangsa," ujar Dandhi.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya