Koalisi Indonesia Raya Bersatu Disarankan Tidak Ajak PDIP, Ini Alasannya
- VIVA/Foe Peace Simbolon
VIVA Politik – Penggabungan 2 poros koalisi, yakni Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR, semakin serius. Pasca 5 ketua umum partai melakukan pertemuan di acara yang dibuat PAN pada Minggu 2 April 2023 kemarin, yang ikut dihadiri Presiden Joko Widodo.
Terkait ini, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M.Jamiluddin Ritonga, menilai penggabungan kedua poros koalisi ini memiliki peluang yang besar.
Jika kedua poros ini dibagabung, KIB dan KKIR, maka akan berisi partai-partai yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN dan PPP.
Melihat formasi itu, menurut dia koalisi besar ini tidak perlu melibatkan PDIP. Dengan begitu, pada Pilpres 2024 nanti tetap akan ada 3 pasangan capres dan cawapres. Yakni dari koalisi ini, dari PDIP dan dari Koalisi Perubahan.
“Kalau ini terwujud (PDIP tidak di koalisi besar ini), maka pada Pilpres 2024 diharapkan tetap ada 3 pasangan capres yang maju,” kata Jamiluddin, Senin 3 April 2023.
PDIP sendiri sudah punya golden tiket untuk mengusung sendiri capres-cawapres tanpa harus koalisi. Mengingat partai besutan Megawati Soekarnoputri itu memiliki jumlah suara melebehi Presidentian Threshold atau PT, ambang batas pengajuan capres-cawapres.
Dengan tetap mempertahankan adanya 3 pasangan calon, menurut dia akan lebih baik dalam rangka mencegah keterbelahan di Pemilu 2024.
“Pilihan ini diharapkan dapat meminimalkan keterbelahan di tengah masyarakat,” katanya.
Diakuinya, jumlah pasangan capres-cawapres pada pemilu nanti akan mempengaruhi juga tahapan pemilu. Jika hanya 2 pasang, maka akan terlaksana satu putaran.
“Kalau hal ini terwujud, maka Pilpres 2024 cukup satu putaran. Pilpres satu putaran dapat menghemat anggaran. Hal ini pas di tengah APBN yang relatif berat,” katanya.
Namun dengan terbentuknya koalisi besar sehingga hanya 2 pasangan, seolah rakyat tidak ada alternatif lain. Sementara esensi demokrasi adalah banyak pilihan untuk rakyat, ditengah heterogenitas masyarakat Indonesia.
Dua pasanga juga, akan semakin meningkatkan keterbelahan di tengah masyarakat. Sebab tidak menutup kemungkinan, efek pilpres pada 2019 masih akan berlanjut di 2024.
“Minus lainnya, bila koalisi besar menang pada Pilpres 2024, maka dominasi partai pendukung pemerintah sangat kuat. Hal ini dapat memperlemah DPR dalam pengawasan, seperti yang terjadi saat ini. DPR praktis sangat lemah dihadapan pemerintah,” jelasnya.
Namun DPR akan sangat kuat, apabila nantinya justru yang menang adalah Koalisi Perubahan. Bila gabungan Nasdem, PKS dan Demokrat itu bisa mengalahkan koalisi besar ini.
“Pemerintah akan terus jadi bulan-bulanan, sehingga sulit bekerja maksimal karena minimnya dukungan dari DPR,” katanya.