Yusril Ihza Mahendra: Banyak Partai Tidak Demokratis dalam Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Politik – Pemilihan umum (pemilu) dengan sistem proporsional terbuka pada kenyataannya justru menciptakan partai politik yang berkarakter tidak demokratis meski konstitusi organisasinya mengatur secara demokratis, kata pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menepis argumen umum yang kerap dikemukan bahwa pemilu dengan sistem proporsional tertutup, sebagaimana diterapkan pada pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019, mengokohkan oligarki partai politik dan menjadikan pemimpin sebuah partai sangat dominan dan cenderung otoriter.
"Secara teori bisa kita katakan begitu," katanya, mengamini argumen umum bahwa sistem proporsional tertutup mengokohkan oligarki partai politik, dalam wawancara eksklusif dengan VIVA pada program The Interview di Jakarta pada 22 Maret 2023.
"Tetapi," dia segera menekankan, "sebaliknya juga, sistem proporsional terbuka, pun dapat terjadi hal seperti itu: jadi, ketua umum bisa saja membuka siapa saja yang mau jadi caleg (calon anggota badan legislatif), nanti yang bayar paling mahal, itu yang dipilih; artinya, money politic-nya makin menjadi-jadi."
Begitu juga, misalnya, menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu, kerap ditemui gejala pemimpin partai politik di tingkat daerah yang sangat dominan menentukan caleg tertentu berdasarkan kriteria subjektif sang ketua. Pada tahap itu terjadi negosiasi politik yang kadang-kadang diselesaikan dengan uang.
"Jadi, negosiasi seperti itu, dalam sistem proporsional terbuka ataupun tertutup sebenarnya potensinya itu tetap ada," ujarnya.
Namun, dia mengingatkan, partai politik tidak dapat hanya dinilai melalui undang-undang pemilunya melainkan juga aturan internal organisasi masing-masing partai. "Sebenarnya banyak partai itu yang kenyataannya memang tidak demokratis, dari ketua umumnya itu sangat dominan, sangat menentukan."
"Sebenarnya bisa aja partai dalam sebuah negara demokratis itu berubah menjadi oligarkis, bahkan berubah menjadi otoriter," katanya.
"Jadi, tidak selalu partai otoriter itu di negara komunis dengan sistem partai tunggal; tapi dalam sebuah negara demokratis pun bisa terjadi sebuah partai anggaran dasarnya demokratis tetapi perilaku politiknya sama sekali tidak demokratis; bisa juga anggaran dasarnya itu agak ketat tapi ketuanya lebih demokratis. Jadi harus dilihat juga normatifnya seperti apa," ujarnya.
Kalau ditinjau dari kualitas hasil pemilu, menurut Yusril, berdasarkan pengalaman PBB mengikuti pemilu sejak tahun 1999, sistem proporsional tertutup lebih baik daripada sistem proporsional terbuka. Partai, katanya, lebih berdaulat untuk menentukan caleg berdasarkan berbagai macam kriteria normatif sampai ideologis.