Survei UI: Agama Jadi Varian Penyumbang Terbesar Polarisasi Politik di Indonesia

Kampus Universitas Indonesia
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA Politik – Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) mengungkap bahwa polarisasi politik di Indonesia fakta terjadi baik dalam dimensi dunia maya maupun dunia nyata.

4 Koin Kripto Diprediksi Punya Prospek Cerah: Investasi Sekarang, Amankan Masa Depan Keuangan Anda!

Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Profesor Hamdi Muluk, dalam rilis hasil survei nasional bertajuk Polarisasi politik di Indonesia : Mitos atau Fakta?" yang dipantau secara daring di Jakarta, Minggu, 19 Maret 2023, mengatakan polarisasi masih kuat terjadi berdasarkan agama, polarisasi berbasis kepuasan kinerja pemerintah, berbasis sentimen anti luar negeri (asing dan aseng).

“Agama varian penyumbang terbesar polarisasi,” kata Hamdi.

Toyota Guyur Investasi Mobil Hybrid Rp24 Triliun ke Thailand, Indonesia Bagaimana?

Ilustrasi logo parpol peserta Pemilu 2024.

Photo :
  • Dok. VIVA

Selain agama, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah juga dapat menjadi penyumbang polarisasi. Hasil riset menunjukkan adanya sentimen berbasis anti luar negeri, yang kerap disebut masyarakat anti-asing.

Rahasia Sukses Investasi: Due Diligence untuk Milenial dan Gen Z yang Visioner

Menanggapi sentimen itu, Menteri Investasi dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menepis adanya isu investasi Indonesia dikuasai oleh asing.

Bahlil selaku penanggap dalam rilis itu mengonfirmasi bahwa investasi Indonesia dari total Rp 1.207 triliun di tahun 2022 di luar sektor migas, keuangan dan UMKM, itu 54 persen adalah investasi asing. Dari 54 persen itu negara paling besar yang masuk adalah Singapura sekitar Rp13 miliar USD.

Namun, Bahlil menegaskan, bahwa nominal Rp13 miliar USD bukan sepenuhnya uang milik negara Singapura, tetapi juga sebagian berasal dari orang Indonesia yang ada di Singapura, karena di Singapura terdapat pula warga Timur Tengah, Eropa dan Asia.

Ilustrasi smelter nikel.

Photo :
  • Istimewa

“Jadi investasi kita 1.207 itu, 54 persen PMA, 46 persen PMDN, jadi kalau digabung dikompair ke bawah, sebagian yang asing dari Singapura sebagian masuk ke Indoensaia, makan PMDN kita lebih besar daripada PMA, karena duitnya orang Indonesia, cuma kita dikompor-komporin seolah-olah ini China, Korea, Jepang,” kata Bahlil.

Kemudian terkait isu ketenagakerjaan, Bahli menjelaskan, IUP tambang di Indonesia 80 persen milik dalam negeri. Yang dikuasai asing adalah smelter (pablik pelebur). Penguasaan ini karena Indonesia belum memiliki teknologinya, biaya pendirian smelter yang mahal, pengusaha dalam negeri belum ada kepedulian ke arah tersebut, dan perbankan nasional yang tidak mau membiayai smelter.

“Maka yang terjadi adalah, teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita anti asing. Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya,” ujarnya.

Ilustrasi investasi properti di Singapura

Photo :
  • Istimewa

Narasi-narasi negatif

Bahlil juga mengingatkan bahwa narasi-narasi negatif soal investasi asing juga dibangun oleh para elite politik yang dulunya juga mantan aktivis. Ia memastikan sebagai mantan aktivis yang kita berada di pemerintahan tidak akan melacurkan idealismenya.

Namun ia berpesan agar para elite politik untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi agar tidak membuat pengkubuan di masyarakat. Karena di Indonesia, sebenarnya di Indonesia aman pertumbuhan ekonominya bagus, stabilitasnya bagus.

“Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, kayak tidak ada tema-tema lain yang lebih cerdas. Bukan berarti saya tidak mengakui adanya polarisasi--barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawa ada--cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola,” kata Bahlil.

Jika polarisasi sudah terjadi, salah satu upaya untuk mengatasinya menurut Ketua Lakpesdam NU Ulil Abshar Abdallah adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.

Penghitungan Surat Suara Pemilu 2019. (Foto ilustrasi).

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.

“Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.

Desain konstitusi

Berbeda pendapat dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.

Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40 persen ataupun 35 persen suara dalam satu putaran.

Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pemilu presiden harus 50 persen plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon mana pun untuk menang dalam satu putaran.

Karena pemilihan diikuti multipartai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran yang pada akhirnya dibuat dua putaran. Jika itu terjadi maka akan mengalami pembelahan, dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.

“Menurut dari kaca mata ilmu politik saya, salah satu penyebab pengutupan yang ekstrem itu adalah desain konstitusi atau desain aturan, dan itu harus diubah, kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” kata Qodari.

Kesimpulan dalam rilis survei nasional tersebut, polarisasi politik fakta terjadi di Indonesia, dan diprediksi kembali terjadi di 2024. Hoaks menjadi salah satu ancaman terjadinya polarisasi. Meski demikian, hal yang patut dihindari adalah politik polarisasi, sehingga masyarakat diajak jeli melihat calon dan elite politik yang memainkan politik polarisasi. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya