Geram dan Kesalnya Fadli Zon soal Hakim PN Jakpus: Mereka Pantas Diberi Sanksi!
- Twitter @fadlizon
VIVA Politik - Putusan kontroversial Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menerintahkan KPU agar tidak menjalani sisa tahapan Pemilu 2024 terus menuai protes. Muncul desakan agar majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut segera diperiksa dan diberi sanksi.
Salah satunya desakan itu disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon. Menurut dia, putusan PN Jakpus atas perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang memerintahkan agar KPU menunda tahapan Pemilu 2024 harus disikapi serius.
Fadli meminta Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY) bergerak cepat atas putusan majelis hakim yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima)
"Untuk menghindari spekulasi politik, MA dan KY sebaiknya segera memeriksa majelis hakim yang terlibat dan memberi mereka sanksi. Ada beberapa alasan kenapa pemeriksaan harus dilakukan, dan kenapa mereka pantas diberi sanksi," kata Fadli, dalam keterangannya yang dikutip pada Senin, 6 Maret 2023.
Dia menyebut alasan pertama, karena ada indikasi ketidakprofesionalan yang sangat mencolok. Gugatan yang dilayangkan dan kemudian dimenangkan Prima terhadap KPU adalah gugatan perdata.
"Tiga orang hakim itu mestinya mengetahui bahwa pengadilan perdata hanya terbatas mengadili masalah perdata saja. Sanksi yang dijatuhkan juga sifatnya perdata, paling hanya bersifat ganti rugi," ujar Anggota DPR tersebut.
Prima: Gugatan ke PN Jakarta Pusat Bukan Sengketa Pemilu, Ini Banyak Disalahpahami
Bagi Fadli, putusan majelis hakim PN Jakpus yang memerintahkan KPU menunda pemilu hingga tahun 2025 jelas berada di luar kewenangannya. Menurut dia, putusan tersebut bukan hanya bisa dianggap melawan hukum tata negara, tapi juga dianggap melawan konstitusi.
Dia menegaskan bahwa Pasal 22E UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Pun, dia menyampaikan jika ada sengketa terkait proses pemilu, maka ketentuan perundang-undangan yakni lembaga yang berwenang memutuskannya adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sementara, kalau ada sengketa terkait hasil pemilu, maka yang berwenang memutuskannya hanya Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi, hakim-hakim yang terlibat dalam putusan perkara nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu terindikasi kuat tidak profesional dalam menjalankan tugasnya," jelas Fadli.
Lalu, alasan kedua, dia menyebut motif putusan itu patut dipertanyakan. Sanksi perdata umumnya cukup dilakukan dengan ganti rugi pihak tergugat kepada pihak penggugat.
Kata dia, mestinya paling jauh, PN Jakpus mestinya memerintahkan KPU untuk mengulang kembali proses verifikasi terhadap Partai Prima. Bukannya malah memerintahkan penundaan pemilu secara keseluruhan.
Meskipun, kata dia, tuntutan menunda proses Pemilu masuk materi gugatan Partai Prima. Tapi, Fadli bilang mestinya majelis hakim mengetahui tuntutan tersebut berada di luar ranah dan kewenangan mereka.
"Sehingga harus diselidiki apa motif mereka membuat putusan hukum soal penundaan pemilu tersebut. Putusan itu bukan hanya telah mengacaukan jangkauan hukum perdata, tapi juga bisa mengacaukan hukum tata negara," tutur Fadli.
Lebih lanjut, Fadli menyampaikan putusan PN Jakpus tidak bisa dibiarkan. Meskipun, kata dia, KPU sudah mengajukan proses banding. Dia mengatakan demikian, karena hampir semua orang, baik parpol, akademisi, ahli hukum, termasuk pemerintah sendiri, menyatakan putusan hakim PN Jakpus memang bermasalah.
"Jadi, kasus ini memang harus diperiksa. Jangan sampai kepercayaan kita terhadap hukum dan lembaga peradilan jadi kian tergerus," ujar Fadli.
Dia mendesak agar para hakim yang memutuskan perkara itu segera diperiksa. "Dan, jika terindikasi ada ketidakprofesionalan atau masalah integritas, mereka semua harus diberi sanksi," katanya.