5.000 Data Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh Diserahkan kepada Mahfud MD
- VIVA/Dani Randi
VIVA Politik – Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al Haytar menyerahkan 5.000 data kasus pelanggaran HAM di Aceh ke Pemerintah Pusat melalui Menkopolhukam Mahfud MD.
Data tersebut bersumber dari rekapitulasi investigasi yang telah diambil pernyataan langsung oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk merespons pengakuan Presiden terkait kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, termasuk tiga di wilayah Aceh.
Tiga di antaranya terjadi di Aceh, yaitu peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Pidie tahun 1998. Kemudian peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara tahun 1999 dan Jambo Keupok di Aceh Selatan tahun 2003.
“Kita minta segera ditindaklanjuti dari negara terhadap tiga kasus yang telah ada pengakuan dari Presiden, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh di masa lalu,” kata Malik Mahmud dalam keterangannya, Jumat, 3 Maret 2023.
Ia mengatakan, di luar 5.000 kasus itu, masih ada banyak lagi kasus-kasus yang sedang dikumpulkan datanya. Kemudian ada kasus pelanggaran HAM lain setelah damai, misalnya kasus pembantaian di Atu Lintang, Aceh Tengah.
Kepada Mahfud MD, Wali Nanggroe menceritakan setelah kasus Atu Lintang terjadi, ia turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang makin memanas.
“Kita sangat komitmen dengan perdamaian ini, dan kita juga ingin Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh,” katanya.
Mantan panglima operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kamaruddin Abubakar yang ikut serta menyerahkan dokumen itu mengatakan, pihaknya tetap komitmen dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu (menjaga stabilitas mantan kombatan GAM) bukan perkara mudah,” kata Kamaruddin alias Abu Razak.
Hingga saat ini, pihaknya terus mendapat desakan-desakan di lapangan, terkait implementasi secara menyeluruh butir-butir perjanjian damai Aceh, dan pasal-pasal dalam UU Pemerintah Aceh.
Bahkan, karena implementasi perdamaian Aceh tidak tuntas meskipun telah memasuki usia 17 tahun, pihaknya mendapat banyak tuduhan dari para mantan kombatan GAM.
“Kami minta agar poin poin MoU Helsinki harus segera diselesaikan. Kami terus mendapat tekanan dari lapangan,” kata Abu Razak.
Selain itu, juga ada tanggung jawab lain yang harus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang saat ini telah beranjak dewasa, yang ingin menempuh pendidikan, atau yang sedang menempuh pendidikan.
“Mereka juga bertanya kepada kami tentang keberlanjutan perdamaian seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh,” katanya.