NasDem Sebut Putusan Hakim PN Jakpus Tunda Pemilu 2024 Menabrak Konstitusi

Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA Politik – Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengulang tahapan pemilu 2024, terus menuai kritikan. Salah satunya dari Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai Nasdem, Atang Irawan. 

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

Menurutnya, mengulang tahapan dari awal, yang bakal berdampak pada penundaan jadwal pemilu 2024, telah menabrak konstitusi. Bahkan, kata Atang, putusan PN Jakpus terkait itu merupakan penodaan terhadap konstitusi.

"Kenapa demikian, karena dalam putusan PN Jakpus menyatakan 'Menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024'. Padahal, amanat konstitusi jelas menyatakan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali," kata Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 3 Maret 2023.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Ilustrasi gambar : Hukum

Photo :
  • vstory

Atang lanjut menyebutkan, keputusan PN Jakpus ini merupakan turbulensi yustisial yang mencoreng muka eksistensi peradilan. Tak hanya itu, putusan ini juga mencurigakan.

Sibuk Politik, 2024 Jadi Tahun yang Penuh Guncangan bagi Krisdayanti

Kecurigaan itu, kata Atang, ketika PN Jakpus memeriksa gugatan ini. Pertama, jika melihat dalam skema kontestasi politik bahwa sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administratif menjadi domain Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

"Seharusnya, PN Jakpus menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), tetapi justru diterima," kata dia.

Kecurigaan lain, terang Atang yakni karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Padahal, jika memperhatikan PerMA No 2 Tahun 2019 mensyaratkan bahwa Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad). 

“Dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan TUN (Tata Usaha Negara). Jika mendasarkan pada UU Peradilan TUN ( Pasal 2 UU No 9 Tahun 2004),” ujarnya.

Menurut Atang, semakin kental bahwa hakim melakukan ultrapetita dengan melompat dari apa yang dimohonkan. Kasus ini adalah penyelesaian perdata yang putusannya seharusnya terkait dengan perbuatan KPU terhadap Penggugat dalam tahapan pemilu yang dimohonkan. Namun justru putusannya berakibat pada seluruh tahapan pemilu. 

"Ironi memang jika kita memandang bahwa hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik, maka semakin menunjukan peradilan kita menuju kearah kesesatan berpikir, karena hakim harus dianggap memahami hukum sebagai bagian dari Prinsip Ius Curia Novit," kata Atang.

Atang menambahkan, bila memperhatikan kompetensi absolut peradilan, maka jelas bahwa PN Jakpus mencoba merobek peraturan perundang-undangan bahkan konstitusi. Sebab, pengaturan tentang kewenangan pengadilan secara absolut sangat jelas dan imperatif yang tidak mungkin ditafsir. 

“Ini sangat berbahaya dan gejala turbulensi yustisial jika dibiarkan secara liar dalam penegakan hukum dan keadilan," ujarnya.

Karena itu, Atang menganggap putusan PN Jakpus adalah preseden yang tak baik, bahkan menabrak konstitusi. Seyogyanya, Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan terhadap orkestrasi yustisial hakim di PN Jakpus yang telah menimbulkan turbulensi penerapan hukum.

"Apalagi persoalan ini terkait dengan kompetensi absolut dan penyimpangan norma yang sudah jelas dan tegas serta imperatif diatur dalam UU dan Konstitusi," kata Atang.

Menurut Atang, dua kekuasaan besar yang diberi tangung jawab menegakkan hukum dan keadilan yaitu MA dan MK, sekalipun tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penundaan pemilu. Namun anehnya, peradilan yang berada di bawah MA malah menerobek konstitusi, sehingga telah menodai demokrasi yang menjadi komitmen kebangsaan. 

Ilustrasi kursi majelis hakim

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Bahkan, tambah dia, jika melihat skema UU Pemilu bahwa penundaan pelaksanan pemilu merupakan domain KPU melalui dua kanal, yakni pemilu lanjutan dan/atau pemilu susulan. 

“Miris memang, PN Jakpus sudah melakukan penafsiran dan membentuk norma baru, padahal kewenangan demikian hanya dapat dilakukan oleh lembaga pembentuk UU melalui perubahan UU (Positif legislation) atau melalui pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya