IPK Korupsi Merosot, Jokowi: Jadi Bahan Evaluasi Bersama
- Tangkapan layar Youtube PSI
VIVA Politik – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan evaluasi terkait merosotnya corruption percepcion index (CPI) atau indeks persepsi korupsi (IPK) pada tahun 2022 menjadi 34 atau turun empat poin. Padahal, indeks persepsi korupsi sebelumnya sebesar 38 poin pada 2021.
“Iya itu akan menjadi evaluasi dan koreksi kita bersama,” kata Jokowi di Bali pada Kamis, 2 Februari 2023.
Sebelumnya diberitakan, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada tahun 2022 merosot empat poin menjadi 34. Sebelumnya Indeks Persepsi Poin Indonesia sebesar 38 poin pada tahun 2021. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Dengan peraihan di angka tersebut, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun sebelumnya yang mencapai rangking 96.
"CPI (Corruption Perception Index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," ujar Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko pada Selasa, 31 Januari 2023.
TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori.
Berdasarkan data yang dirilis, Indonesia sendiri berada dalam posisi yang sama dengan Bosnia and Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal dan Sierra Leone dengan skor 34.
Di tingkat negara-negara di Asia Tenggara, skor CPI Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang mendapatkan skor 83 poin, Malaysia dengan 47 poin, Timor Leste dengan 42 poin, Vietnam dengan 42 poin, dan Thailand dengan 36 poin.
"Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23)," ucap Wawan.
Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83) serta Swiss (82). Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14).
"Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26," kata Wawan.
Wawan mengatakan ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia tersebut, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun menjadi 35 dari 48 pada 2021.
Selanjutnya, ada IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun lima poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32.
Kemudian, ada tiga indeks yang stagnan yaitu Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu atau perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47, Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33 dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37.
Selanjutnya, ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project – Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23, dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22.
"Sayangnya indeks yang naik satu atau dua poin berpengaruh tidak besar bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34. Saat ini jadi PR besar untuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, bagaimana menjaga PRS ini pada angka yang maksimal, sedangkan perubahan pada angka World Justice Project dan Varieties of Democracy juga tidak sedemikian rupa sehingga harus melakukan perubahan mendasar," ujarnya.
Dia menyebut berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi.
"Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?" ucap Wawan.
Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan karena korupsi politik masih marak ditemukan.
"Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tetapi juga risiko politik," tambah Wawan.
Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
"Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum," tuturnya.