Demokrasi Butuh Partai Politik, Tak Boleh Nyinyir Orang Baik Masuk Partai

Burhanuddin hingga Hasto di Seminar Nasional Pelembagaan Partai Politik
Sumber :

VIVA Politik – Pelembagaan partai politik di Indonesia, masih menyisahkan berbagai catatan penting. Maka ketika ada orang baik hendak masuk ke partai, hal itu semestinya didukung, tidak dibuat nyinyir.

Ratusan Simpatisan dan Kader PDIP Beralih Dukung Egi-Syaiful di Pilbup Lamsel

Itu disampaikan pakar politik yang juga Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Dengan masuknya orang baik ke partai, akan berdampak pada demokrasi.

Itu disampaikan Burhanuddin, dalam Seminar Nasional “Pelembagaan Partai dan Kepemimpinan Strategis Nasional” yang digelar oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bersama Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG), Pascasarjana UI, di Bandung, Kamis 26 Januari 2023.

Pertemuan Megawati-Prabowo Tak Kunjung Terwujud, Puan Ungkap Alasannya

Hadir sebagai pembicara selain Burhanuddin Muhtadi adalah Ketua Kaprodi SKSG Dr. A.Hanief Saka Ghafur, dan Dr. Hasto Kristiyanto yang juga Sekjen PDI Perjuangan (PDIP).

Burhanuddin menjelaskan, dalam pelembagaan atau institusional partai politik, ada 3 isu yang harus dilihat karena rentan konflik intra partai.

Sekjen PDIP Pastikan Megawati dan Prabowo Akan Bertemu

Pertama, model genetik. Dimana model ini secara umum lebih dipengaruhi oleh kharisma figur. Dimana identitas partai dan pimpinannya mengalami peleburan total. Partai kemudian menjelma sebagai partai yang hanya bertumpu pada personal appeals, bukan institutional appeals. 

Diakuinya, model ini cukup efektif mereda konflik. tetapi tidak permanen. Beberapa partai di Indonesia yang sempat dilanda konflik seperti Golkar atau PPP. Dimana genetiknya bukan partai kharismatik dan tidak ada pemimpinnya yang powerful aura.

“Masalah kedua adalah ketersediaan sumberdaya, terutama pembiayaan partai, baik dari sisi kebutuhan operasional partai atau party finance, maupun pemilu atau campaign finance. Deinstitusionalisasi partai yang melahirkan konflik banyak disebabkan oleh perebutan sumberdaya,” jelasnya.

Model terakhir adalah faksionalisasi. Ada tiga tipologinya, yakni faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu-isu politik. Biasanya tidak berusia panjang dan bersifat insidental dan informal. Kedua, faksi yang terbentuk relasi patronase politik, dipengaruhi kharisma tokoh-tokoh sebagai patron, dan pengurus partai lainnya sebagai klien. Ketiga, faksi yang terbentuk secara formal dan terorganisasi. Eksistensi faksi ini diakui dalam AD/ART.

“Sebab no democracy without political party. Tak ada resep demorkasi tanpa parpol. Maka bila mau memperbaiki demokrasi, kuncinya adalah bikin parpol jadi lebih baik. Kalau parpol memburuk, maka tingkat kepecayaan publik pada demokrasi juga memburuk. Maka demokrasi tergantung pada seberapa baik institusionalisasi partainya. Semakin baik institusionalisasi parpol, semakin baik demokrasinya,” jelasnya.

Untuk Indonesia sendiri, jelasnya, ada partai yang bersifat catch all party atau melakukan apapun juga demi memperoleh suara.

“Kalau parpol makin tak tergantung dengan sumbangan anggota dan warga negara, jangan salahkan partai kalau tak ada perasaan bertanggung jawab parpol kepada publik karena seluruh pembiayaan partai dicari sendiri,” kata Burhan.

Dia juga menyoroti party id atau identifikasi masyarakat terhadap partai politik, semakin menurun. Dari tahun 1999, party id sangat tinggi yakni 83 %. Namun berdasarkan pada survei terbaru, turun drastis dan tersisa 6,8 %. Dari sisa itu, yang paling besar adalah PDI Perjuangan (PDIP) dan PKS. 

“Orang yang mau menjadi anggota parpol juga semakin menurun,” imbuh Burhan.

Untuk idiologi partai, Burhanuddin mengatakan nyaris tidak ada perbedaan. karakter. Seperti ideologi ekonomi, riset menemukan semua partai cenderung berideologi tengah. Ada kesimbangan pada isu kesetaraan dan isu pembangunan ekonomi.

Idiologi yang berbeda, menurut dia, hanya terkait isu agama dan Pancasil. PDIP dan Nasdem cenderung menegaskan agama jangan masuk terlalu dalam ke isu politik. Sedangkan PPP dan PKS sebaliknya.

“Artinya kalau jualan isu ekonomi, semua parpol hampir sama. Irisan ideologi nyaris sama. Perbedaaanya di isi agama,” katanya.

Tingkat kedekatan antara partai dengan pemilih, menurutnya juga rendah. Termasuk yang disoroti kinerja partai yang masih rendah.

“Berarti secara efektif rendah, secara intermediasi juga dipersoalkan perannya. Padahal partai penting dalam kehidupan demokrasi,” ujarnya.

Riset juga menemukan, bahwa trust masyarakat terhadap parpol paling rendah dibanding institusi-institusi lain. 

“Jadi PR para tokoh termasuk Mas Hasto banyak ini. Saya termasuk orang yang tidak pernah mau nyinyir dengan politisi dan aktivis partai. Kalau ada orang baik masuk partai politik, kita harus dorong. Jangan sampai partai diisi sama orang yang bermasalah, karena masalah partai sudah banyak. Trust rendah, fungsi intermediasi dipersepsi rendah, makin lama pemilih makin jauh dengan partai. Tapi kita tidak ada pilihan lagi berdemokrasi tanpa partai,” paparnaya.

Hanief Saka Ghafur berbicara tentang ketangguhan partai politik dari guncangan politik. Menurut dia penting bagi institusi partai politik demi mewujudkan kehidupan demokrasi dan masyarakat yang madani (civilized). 

“Banyak partai sering kali abai tentang pentingnya ketahanan dan keberlanjutan. Terutama partai yang sedang berada di zona nyaman atau partai sedang menjadi ruling party. Banyaknya pengurus partai yang partainya lolos parliamentary threshold atau kadernya menjadi pejabat pemerintah lupa atau lalai memikirkan ketahanan dan ketangguhan organisasinya. Banyak partai yang lupa berinvestasi jangka panjang dan lalai meregenerasi kadernya,” urai Ghafur.

“Pilihannya ada dua, apakah partai akan sekedar menjadi partai massa atau akan menjadi partai kader. Partai hanya sekedar mampu menghimpun buih-buih massa, tanpa adanya kaderisasi dan keberlanjutan para kadernya dalam jangka panjang,” tambahnya.

Dia juga menyoroti organisasi partai perlu mengubah saat ada turbulensi internal dan eksternal di partai. Partai harus bisa membalik ancaman turbulensi menjadi peluang tantangan. Agar organisasi dan ketangguhan partai yang berkelanjutan, bisa dipertahankan. 

“Pimpinan partai harus mampu mengantisipasi risiko yang akan terjadi. Tetapi sekaligus juga mampu mengintegrasikan resiko ke dalam ketahanan stratejik, baik jangka panjang maupun jangka pendek,” pungkas Ghafur.

Seminar ini dilaksanakan secara luring dan daring, dengan peserta adalah mahasiswa pascasarjana UI, akademisi, hingga sejumlah legislator. 

Diantaranya adalah Anggota DPR Junico Siahaaan, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Ineu Purwadewi, dan anggota DPRD Jabar yang juga Sekjen PA-GMNI Abdy Yuhana.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya