PKB Anggap Petitum yang Diajukan untuk Uji Materi UU Pemilu "Terlihat Irasional, Absurd dan Kacau"
- ANTARA/HO-Dokumentasi Luqman Hakim
VIVA Politik – Anggota Fraksi PKB DPR RI Luqman Hakim meyakini hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak permohonan pengujian (judicial review) yang menyangkut sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan sekelompok masyarakat pada November 2022.
Tentu, Luqman percaya dengan keilmuan dan integritas hakim-hakim MK. Mereka pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat apa yang akan ditumbulkan bagi pelaksanaan pemilu tahun 2024.
“Oleh karena itu, saya haqulyakin bahwa MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat,” kata Luqman melalui keterangannya pada Kamis, 5 Januari 2023.
Setelah mencermati seluruh petitum yang diajukan, Luqman menilai, para penggugat bersama kuasa hukummya kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan dan gagal memahami alur pemilu sehingga petitum yang mereka ajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau.
Potensi kekacauan pemilu
Jika petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, menurut Luqman, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pemilu tahun 2024.
Karena, kata dia, para penggugat meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c) diubah menjadi "Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut". Naskah asli UU berbunyi: "Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak".
Kemudian, para penggugat mengajukan agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Naskah asli huruf (d) Pasal 420 UU Pemilu itu berbunyi: "Nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi."
Kemudian, Pasal 420 UU Pemilu ini mengatur tata cara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague, yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Lompatan logika dan tidak cermat
Perhitungan itu untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh. Oleh karena itu, tentu berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
“Bukan didasarkan pada nomor urut partai politik. Di sini, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut,” ujarnya.
Menurut dia, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu, karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
Selain itu, kata Luqman, Petitum yang diajukan para penggugat terhadap Pasal 422 juga bertentangan dengan ketentuan afirmasi kepada calon parlemen perempuan sebagaimana diatur pada Pasal 245 dan Pasal 246 UU Pemilu.
Rentan ketidakpastian
Petitum para penggugat terhadap Pasal 422 UU Pemilu agar bunyi pasal ini diubah menjadi, "Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Pemilu di suatu daerah pemilihan".
Sedangkan naskah asli Pasal 422 UU Pemilu berbunyi: "Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara."
Dengan begitu, kata Luqman, apabila petitum Pasal 422 UU Pemilu ini dikabulkan MK maka akan menimbulkan ketidakpastian siapa anggota partai politik yang berhak menempati kursi parlemen yang diperoleh partai politik. Bahkan, partai politik yang memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan memiliki kewenangan mengirimkan anggotanya yang tidak menjadi calon legislatif untuk menempati kursi parlemen yang diperoleh partai.
“Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka pemilu 2024 tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau, ‘kan?” ujarnya.