Komisi Yudisial Minta ke DPR Bisa Langsung Sadap Hakim Secara Mandiri
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA Politik – Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY), Joko Sasmito, mengungkapkan alasan pihaknya kesulitan menyadap hakim bermasalah terkait kode etik.
Joko mengatakan, KY sudah memiliki kewenangan penyadapan tersebut melalui Pasal 20 Undang-Undang 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
"Memang kalau dilihat di Pasal 20 Undang-Undang KY memang kita diberi kewenangan ya untuk melakukan penyadapan," kata Joko saat konferensi pers di Kantor KY, Jakarta Pusat, Rabu 28 Desember 2022.
"Tapi (untuk menyadap) harus bekerjasama dengan aparat penegak hukum yang lain. Dikatakan di sana (Undang-Undang) bahwa kalau KY meminta, maka penegak hukum lain harus memenuhi," sambungnya.
Kendati demikian, Joko mengungkap penyadapan tersebut tidak semudah yang tertuang dalam UU. KY sudah mencoba membuat kesepakatan dengan Polri, termasuk dengan Kejaksaan Agung dan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lembaga penegak hukum terkait tidak bisa melakukan penyadapan kecuali untuk tindak pidana luar biasa atau extraordinary. Contoh kasus seperti terorisme, korupsi dan narkotika.
Sedangkan kepentingan Komisi Yudisial untuk menyadap, berada di luar kepentingan tindak pidana yang disebut sebelumnya.
"Sehingga idak bisa dilakukan untuk dibantu permintaan KY karena permintaan kita itu terkait pelanggaran etik, padahal secara di ketentuan mereka itu dipakai untuk penyadapan itu kasus-kasus pidana ada tiga itu tadi saya sebutkan," ucap dia.
Oleh sebab itu, Komisi Yudisial berencana akan mengusulkan kepada DPR RI agar kewenangan penyadapan KY tak lagi bergantung pada lembaga hukum lain.
"Tapi kewenangan penyadapan itu mandiri dimiliki oleh KY sendiri sehingga akan lebih leluasa KY bisa melakukan penyadapan," kata Joko.
"Artinya penyadapan tidak semua hakim disadap, tapi ada indikasi, ada temuan, ada (indikasi) korupsi, selingkuh dan sebagainya baru dilakukan penyadapan," tambahnya.