Mantan Hakim Agung: Restorative Justice Terkesan Orang Kaya Tak Bisa Dihukum
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA Politik – Mantan hakim agung Mahkamah Agung (MA) Gayus Lumbuun menilai penerapan restorative justice yang dilakukan Kejaksaan Agung Republik Indonesia penuh kontroversi.
"Konsep restorative justice ini memunculkan prokontra, karena dianggap orang kaya tidak bisa dihukum. Atas pro-kontra ini, semua harus menyadari bahwa orang-orang yang lemah mendapatkan keadilan untuk dipulihkan," kata Gayus melalui keterangannya pada Sabtu, 26 November 2022.
Penyelesaian melalui restorative justice, katanya, memang keluar dari undang-undang yang berlaku. Misalnya, apabila ada korban tabrakan dan penabraknya tidak sengaja, maka bisa diselesaikan dengan pengobatan kepada korbannya.
Maka, kata Gayus, penyelesaian masalah itu tidak harus mempidanakan penabrak yang tidak sengaja. “Asalkan itu bukan kejahatan terhadap negara, dan bukan perbuatan yang disengaja," ujar politikus senior PDIP mantan anggota DPR RI itu.
Kepolisian, menurutnya, telah membuat Peraturan Kepolisian tentang restorative justice Nomor 8 tahun 2021. Selain itu, Kejaksaan juga membuat peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020.
"Mahkamah Agung juga menerbitkan Peraturan MA Nomor 2 tahun 2012, yang memberi kesempatan kepada kedua belah pihak dalam urusan pidana ini bisa dilakukan perbaikan pemulihan korban," ujarnya.
Maka Gayus juga mengapresiasi Kejaksaan Agung yang menerapkan restorative justice dalam menyelesaikan perkara. Tentu, diharapkan restorative justice memberikan manfaat besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat bawah.
"Restorative justice memiliki tujuan untuk memberi manfaat bagi korban yang direstorasi atau korban yang diperbaiki,” katanya.
Ia menyebut konsep restorative justice digagas oleh orang Kanada Susan Sharpe, pada 1998, dan dipopulerkan Tony Marshall’s. “Penyelesaian masalah tidak melalui pengadilan, tetapi kompromi antarpihak dengan pihak ketiga lainnya,” katanya.