MK Putuskan Menteri Nyapres Tak Perlu Mundur, Refly: Nggak Paham Potensi Abuse of Power
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA Politik - Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan menteri atau pejabat setingkat menteri yang mau maju jadi capres atau cawapres tak perlu mundur dari posisinya. Menteri tersebut cukup dapat izin cuti dari Presiden.
Putusan MK itu dikritik pakar hukum tata negara Refly Harun. Dia menyindir dengan putusan tersebut, MK seolah seperti diduga makin pro dengan Istana.
Refly mengritisi putusan MK karena dianggapnya tak paham dengan kemungkinan potensi abuse of power.
"Dia nggak paham dengan potensi abuse of power ya. Kalau negaranya goverment-nya bagus ya boleh. Ini kalau government nggak bagus, belum jadi calon Presiden aja sudah menggunakan fasilitas untuk kampanye. Apalagi kalau sudah jadi calon Presiden," kata Refly dalam akun YouTubenya yang dikutip pada Selasa, 1 November 2022.
Pun, dia heran dengan Partai Garuda yang diberikan legal standing oleh MK sebagai pemohon. Padahal, ia membandingkan dalam perkara gugatan presidential threshold, saat Partai Ummat, Anggota DPD, hingga eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo dianggap MK tak punya legal standing sebagai pemohon.
"Semuanya tidak punya legal standing. Giliran menteri cuti tidak ada kaitannya Partai Garuda dikasih legal standing," ujar Refly.
Refly beri catatan kritis karena Partai Garuda tidak punya perwakilan di kementerian. Status Partai Garuda juga tak dirugikan soal menteri jadi capres atau cawapres. Berbeda jika yang mengajukan permohonan uji materiil ke MK adalah menteri yang jadi bagian Kabinet Indonesia Maju.
"Kalau yang mengajukan Prabowo, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Airlangga itu wajar," tuturnya.
Sebelumnya, MK menyatakan menteri atau pejabat setingkat menteri yang maju jadi capres atau cawapres tak perlu mundur dari jabatannya. Namun, menteri tersebut harus dapat izin cuti dari Presiden.
MK memutuskan demikian terkait perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 menyangkut pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penjelasan MK terkait syarat pengunduran diri bagi pejabat negara yaitu menteri yang dicalonkan partai politik atau parpol peserta pemilu atau koalisi parpol sebagai capres atau cawapres mesti mengundurkan diri dari jabatannya tak lagi relevan.
“Tidak lagi relevan. Dan, oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017,” kata hakim konstitusi, Arief Hidayat dalam sidang yang disiarkan di channel YouTube MK, Senin, 31 Oktober 2022.
Arief menyebut jabatan menteri atau setingkat menteri merupakan bagian rumpun kekuasaan eksekutif yang dibawahi presiden dan wakil presiden. Maka itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri dikecualikan mundur bila dicalonkan jadi capres atau cawapres.
"Menteri atau pejabat setingkat menteri harus mendapat persetujuan, izin, cuti dari Presiden," ujar Arief.
Uji meteriil ini diajukan Partai Garuda melalui ketua umumnya Ahmad Ridha Sabana. Dia melayangkan uji materiil Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Bunyi pasal 170 ayat 1 sebagai berikut: "Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan anggota MPR, pimpinan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota."