Sejarah tentang G30S/PKI Akan Ditulis Ulang, Menurut Komnas HAM
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Politik – Sejarah tentang tragedi kemanusiaan sepanjang tahun 1965-1966, dampak peristiwa berlatar belakang kudeta yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September (G30S/PKI), akan ditulis ulang, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Penulisan ulang sejarah itu merupakan bagian dari amanat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2022.
Tim PPHAM akan menyelenggarakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sebanyak 13 kasus, yang meliputi kasus Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985, Kasus Talangsari tahun 1989, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II pada 1998-1999, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Paniai pada 2014, dan lain-lain.
Tim yang akan diisi oleh sejumlah orang yang dianggap kredibel itu, pertama-tama, "[akan] mengkonstruksi ulang hasil investigasi Komnas HAM tentang kebenaran atas peristiwa itu," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam wawancara eksklusif dengan VIVA pada program The Interview di Jakarta, Senin, 29 Agustus 2022.
Komnas HAM sudah memiliki hasil investigasi atas kasus-kasus itu, dan Tim PPHAM akan merekonstruksi sejarah peristiwa masing-masing. "Jadi, tim ini tidak boleh menyusun ulang sejarah di luar seperti yang sudah dirumuskan dalam kesimpulan Komnas HAM, berdasarkan hasil penyelidikan," katanya.
Yudisial dan nonyudisial
Selain mengupayakan agar para korban dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu mendapatkan hak-hak mereka dari negara, Tim PPHAM akan memulihkan nama baik terutama mereka yang selama ini dianggap terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.
Pada saat yang bersamaan, jika dimungkinkan, Tim PPHAM juga akan mendorong penyelesaian secara yudisial atau melalui jalur pengadilan. Dalam proses itu, sangat dimungkinkan untuk terjadinya pengampunan terhadap para pelaku, kemudian rekonsiliasi. "Tapi bisa juga sebaliknya, mengadili pihak-pihak tertentu yang memang harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum," ujar Taufan.
Keppres tersebut tidak ideal untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kata Taufan. Tetapi itu pilihan paling realistis yang bisa ditempuh. "Kalau tidak, kita akan stagnan sekian lama, tidak ada solusi apa pun," katanya, merujuk pada segala upaya yudisial Komnas HAM sejak dahulu namun selalu dimentahkan oleh Kejaksaan Agung.
"Akan ada tim yang menuliskan sejarah itu nanti, masing-masing peristiwa. Tapi dipersyaratkan: tidak boleh berbeda dari sudah dibuat oleh Komnas HAM--untuk 13 kasus, dan yang lain-lain nanti," katanya.