Capim KPK Ini Mau Koruptor Bayar Denda Berlipat, Tak Perlu Dipenjara

Capim KPK Johanis Tanak
Sumber :
  • VIVAnews/ Edwin Firdaus

VIVA Politik – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ( Capim KPK) Johanis Tanak, menyampaikan keinginannya agar restorative justice (RJ) atau alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, bisa digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi.

KPK Lelang 134 Barang Rampasan Koruptor, Laku Rp 17 Miliar

Hal ini disampaikan Johanis, saat melakukan fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 28 September 2022. Johanis menekankan juga pencegahan daripada penindakan.

"Saya mencoba berpikir untuk restorative justice terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Tapi apakah mungkin yang saya pikirkan itu dapat diterima, saya juga belum tahu. Harapan saya dapat diterima," kata Johanis.

Jaksa Agung Sebut Kasus Pengguna Narkoba Tidak Perlu Sampai ke Pengadilan

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi tersebut menilai, RJ tidak hanya bisa dilakukan dengan perkara tindak pidana umum. Tetapi juga tindak pidana khusus, dalam hal ini korupsi.

"Hal ini dapat saja dilakukan meskipun Pasal 4 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. Namun hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," jelas Johanis.

Penampakan Mobil Mewah hingga Moge Hasil Rampasan Koruptor yang Bakal Dilelang KPK

Mencontohi yang Dilakukan BPK

Menurut Johanis, dalam menggunakan RJ bisa menggunakan Undang-Undang tentang BPK. Johanis mencontohkan, jika BPK menemukan suatu kerugian keuangan negara, maka BPK akan memberikan kesempatan selama 60 hari kepada yang diduga melakukan kerugian keuangan negara, untuk mengembalikkan.

Johanis menyebut, formula RJ ini belum diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, hal ini bisa diatur dalam suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum. Dengan Peraturan Presiden, misalnya.

"Nantinya ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, saya berharap dia dapat mengembalikan uang tersebut, tetapi dia kena denda juga, kena sanksi juga,” kata Johanis.

Dia menganalogikan, seperti pinjaman di bank. Jadi kalau peminjam uang merugikan negara Rp 10 juta, maka ia harus mengembalikan Rp 20 juta, bahkan kalau perlu lebih. Lagi pula, kata dia, menindak orang dalam proses hukum itu memerlukan biaya yang besar.

“Begitu juga pak ketika penindakan, jadi restorative justice ini ketika sudah ada RJ dia bisa mengembalikan, kita tidak proses, tapi mengembalikan tidak sejumlah yang di korupsi tetapi 2 kali atau 3 kali (lipat) dia mengembalikan maka tidak perlu diproses secara hukum. Karena ketika dia diproses secara hukum seperti yang saya sampaikan tadi, maka kerugian keuangan negara akan bertambah, bukan berkurang,” jelas Johanis.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya