William Liddle: Partai Politik Tak Sumbangkan Banyak Kesejahteraan RI

William Liddle
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA Politik – Keberadaan partai politik di Indonesia sejauh ini belum banyak berkontribusi pada kesejahteraan rakyat dan pola kepemimpinannya masih patronasi atau bertumpu pada figur tertentu sebagai pemimpin utamanya, kata William Liddle, ilmuwan asal Amerika Serikat pakar tentang perpolitikan Indonesia.

Bawaslu: Kemenangan Kotak Kosong dalam Pilkada 2024 Jadi Evaluasi untuk Partai Politik

"Partai politik di Indonesia terkenal lebih patronasi," kata Liddle dalam wawancara secara eksklusif dengan VIVA pada program bincang-bincang The Interview, di Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2022. "Yang paling penting bagi partai politik, dan juga pemimpinnya, adalah supaya ekonomi pribadinya maju, dipuaskan."

"Oleh karena itu," Liddle menekankan, "partai politik tidak menyumbangkan banyak kesejahteraan Indonesia dalam waktu singkat."

Parpol Capek Sehingga Berefek pada Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Turun, Kata Pakar Ilmu Politik

Ilustrasi sidang Paripurna DPR.

Photo :
  • VIVA.co.id/Eduward Ambarita

Meski begitu, Liddle secara objektif mengapresiasi peran partai politik di DPR RI yang mendorong disahkannya Undang-Undang tentang Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan Omnibus Law, sebuah beleid multibidang untuk memangkas birokrasi demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Media Sosial Akun Gerindra Jadi Tempat Keluhan Warganet ke Presiden untuk Selesaikan Kasus di Tanah Air

Proses pembahasan dan pengesahan undang-undang itu memang menuai banyak polemik tetapi, menurutnya, itu satu bukti peranan penting partai politik dalam mendorong terciptanya negara kesejahteraan. "Saya kira di situ mereka menyumbangkan sesuatu yang cukup besar," katanya.

Profesor emeritus dari Ohio State of University itu berterus terang menganggap Omnibus Law sebagai satu prestasi partai politik di parlemen nasional. "Kalau undang-undang lainnya mungkin lebih menghambat daripada membantu," ujarnya.

William Liddle

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Tidak ideologis

Berbeda dengan pandangan umum tentang gejala partai politik di Indonesia belakangan yang tidak lagi ideologis--tidak ada yang berhaluan ekstrem kanan atau kiri, Liddle menilai itu justru lebih baik. Dia mencontohkan femonena partai politik pada era tahun 1950-an yang ideologis: sebagian ekstrem kiri seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagian lainnya ekstrem kanan Islam seperti Partai Masyumi.

Kedua contoh partai itu tidak demokratis, kata Liddle, yang telah meneliti perpolitikan Indonesia sejak tahun 1960-an. Sebab, PKI ingin mendirikan negara komunis yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, begitu pula dengan Masyumi yang bertekad mendirikan negara Islam tau negara berdasarkan syariat Islam.

Di satu sisi, sekarang, menurut Liddle, partai politik di Indonesia tidak banyak memberikan sumbangsih pada kesejahteraan rakyat. Tetapi di sisi lain, jika berdasarkan pengalaman masa lalu dengan keberadaan partai politik ekstrem kanan dan kiri, dia berpikir, lebih baik sekarang.

Bendera partai-partai politik. (Ilustrasi)

Photo :
  • Antara/ Fanny Octavianus

"Saya juga selalu melihat ke belakang, ‘Aduh ... jangan berkembang lagi; jangan pulih kembali partai komunis dan partai Islamis yang menguasai banyak kursi'," katanya.

Aspek baik dari karakteristik partai politik sekarang yang nyaris 'cair' satu dengan lainnya, kata Liddle, berguna untuk mendukung kebijakan yang terbuka, dalam bidang politik dan ekonomi. "Salah satu contoh adalah Undang-Undang Omnibus (Omnibus Law); harus lebih seperti itu, lebih banyak undang-undang seperti itu," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya