William Liddle: Publik Takut Bicara Politik Naik 40 Persen pada 2021
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA Politik – Situasi kebebasan sipil di Indoensia memburuk dari tahun ke tahun mulai tahun 2004 sampai 2021, sejak masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo, menurut William Liddle, ilmuwan asal Amerika Serikat pakar tentang perpolitikan Indonesia.
Liddle, bersama peneliti Indonesia, Saiful Mujani, mempublikasikan hasil survei itu dalam artikel jurnal "Jokowi Sidelines Democracy". "Situasi kebebasan sipil telah memburuk," tulisnya, "terutama dalam persepsi kebebasan untuk berbicara tentang politik dan untuk bergabung dalam organisasi".
Dalam wawancara secara eksklusif dengan VIVA pada program bincang-bincang The Interview, di Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2022, Liddle menjelaskan argumentasinya berdasarkan hasil surveinya.
Dia mengakui, secara umum, masyarakat Indonesia memang masih bebas berbicara, termasuk tentang politik, dan bebas berserikat atau berkumpul. Tetapi, menurutnya, keberadaan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, misalnya, telah membatasi dan mengancam kebebasan itu. Salah satu dampaknya ialah pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
"Masyarakat yang takut bicara politik, pada tahun 2004 tingkatnya 20 persen saja; tada tahun 2021 sudah melejit menjadi 40 persen," kata profesor emeritus dari Ohio State of University, Amerika Serikat, itu.
"Kita bisa menyimpulkan bahwa pada waktu itu masyarakat Indonesia tidak takut bicara tentang politik. Tetapi kalau sekarang naik terus kan," ujarnya, menambahkan.
Sebab utama peningkatan itu, Liddle mengakui, memang belum diketahui. Namun, dia menekankan, angkat itu jelas menunjukan ada masalah. Dia menduga, salah satunya karena kebijakan pemerintahan Jokowi terhadap kelompok Islam radikal. "Banyak orang Islam radikal di desa, di kota, takut pada kebijakan-kebijakan dari pemerintahan Jokowi."
Hasil survei yang memotret persepsi publik itu, menurut Liddle, memang tidak mencapai angka mutlak. Namun, angka 40 persen jelas "sudah mengkhawatirkan bagi saya", meski secara umum orang tidak memiliki ketakutan untuk menggunakan hak pilihnya dan pergi ke tempat pemungutan suara pada pemilu.