DPR Ungkap Proyeksi APBN 2023: Belanja Negara Capai Rp3.116 Triliun
- Istimewa
VIVA Politik – Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menjelaskan estimasi desain APBN 2023. Estimasi ini mempertimbangkan berbagai faktor termasuk situasi pandemi COVID-19, perang antara Rusia dan Ukraina, respons pemerintah atas situasi tersebut dan faktor-faktor lainnya.
Said mengatakan, perang Ukraina-Rusia pada awal Tahun 2022 ini telah menyebabkan supply shock bahan pangan dan energi. Dampaknya, inflasi melambung tinggi yang menjalar di banyak kawasan.
"Situasi ini tentu ada untung ruginya buat ekonomi kita. Efek kenaikan harga komoditas global di Kuartal IV tahun 2021 berdampak penerimaan perpajakan kita melampaui target, setelah dua belas tahun berturut turut kita mengalami short fall pajak. Naiknya harga komoditas juga menjaga surplus perdagangan sejak Mei 2020," kata Said kepada wartawan, Rabu, 3 Agustus 2022.
Di lain hal, menurut Said, Indonesia harus memperbesar alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi, yakni BBM, LPG dan listrik. Pembengkakan ini disebabkan karena Indonesia telah lama menjadi importir minyak bumi.
Menurut Said, biaya tambahan juga dibutuhkan untuk menjaga daya beli, khususnya rumah tangga miskin terhadap kenaikan inflasi yang mulai dirasakan pada sejumlah bahan pangan impor.
"Bila pada sejumlah serial meeting tingkat Menteri G20 dan puncaknya pada KTT G20 pada November 2022 nanti tidak membuahkan hasil nyata untuk mengatasi supply shock pangan dan energi dunia, maka tahun depan kita masih akan menghadapi situasi ekonomi yang kurang lebih sama seperti tahun ini. Bila KTT G20 bisa menganulir berbagai pelarangan produk pangan dan energi Rusia ke pasar global, langkah itu akan membuka pasokan logistik global pulih secara perlahan," ujarnya.
Dikatakan juga, pada tahun 2023, Indonesia perlu mewaspadai kesiapan fiskal karena tahun depan Indonesia harus kembali pada defisit pembiayaan APBN di bawah 3 persen PDB. Menurut Said, pemerintah tidak bisa lagi membuka pembiayaan utang seperti tiga tahun terakhir untuk melebarkan ruang fiskal.
Karena itu, kata Said, senjata utama pemerintah agar memiliki dompet lebih tebal yakni dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi, menjaga surplus perdagangan yang di topang dari ekspor baru dan manufaktur, penerimaan perpajakan yang baik, dan inflasi yang terkendali, serta meningkatkan investasi, khususnya pada sektor primer.
"Pertumbuhan ekonomi optimis bisa kita raih ke level lima persenan jika kita mampu mengelola inflasi dengan baik. Dengan inflasi terkendali dengan baik, maka permintaan domestik (konsumsi rumah tangga) sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi kita selama ini akan terjaga. Kita masih punya peluang besar seiring masih relatif tingginya harga komoditas ekspor," kata Said.
Said menuturkan, porsi ekspor dalam mendorong permintaan perlu terus ditingkatkan, agar tidak semata mata mengandalkan permintaan domestik. Dia menilai ini waktunya melakukan transformasi ekonomi untuk lebih outward looking.
"Kita tidak boleh mengandalkan ekspor hanya bertumpu pada komoditas. Program hilirisasi harus mulai tampak kontribusinya pada produk ekspor baru. Selama rentang 2014-2019 kita hanya menghasilkan 17 produk ekspor baru, sementara Vietnam 48, Thailand 30, dan Malaysia 30 produk ekspor baru," ujarnya.
Dari sisi investasi, Indonesia perlu lebih giat mendorong investasi pada mesin-mesin dan peralatan serta hak kekayaan intelektual. Sebab, pengeluaran untuk barang modal atau PMTB selama ini lebih dari 70 persen di dominasi oleh bangunan, sementara kontribusi mesin, peralatan dan hak kekayaan intelektual masih rendah.
"Karena konsentrasi investasi masih pada sektor bangunan, akibatnya daya dukung produksi barang belum memadai, ditambah sumber daya manusia yang belum mempuni, dan tingginya biaya logistik, hal ini menjawab persoalan mengenai Incremental Capital Output Ratio atau ICOR kita masih tinggi di level 6,24 pada tahun lalu," ujarnya.
Lebih lanjut Said mengatakan lebih dari 30 persen belanja negara sudah ditransfer ke daerah dan desa. DPR, kata dia, telah memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah melalui Undang Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
"Melalui undang undang ini pemda diberikan kewenangan fiskal yang lebih besar, seiring dengan kewajiban untuk efisiensi belanja rutinnya. Dengan menjalankan undang undang ini dengan baik, kontribusi pembangunan didaerah akan jauh lebih besar effortnya. Sehingga tumpuan pembangunan tidak hanya mengandalkan belanja pusat," imbuhnya.
Jika mampu disiplin dalam mengelola target, serta cepat melakukan mitigasi atas berbagai dinamika sosial, ekonomi, politik dan keamanan, serta berkaca dari kemampuan cepat melakukan recovery di tahun 2021, Said memperkirakan postur APBN 2023 seperti berikut ini:
1. Asumsi ekonomi makro:
a. pertumbuhan ekonomi 5,2 - 5,5%
b. inflasi ±4%
c. kurs (Rp/USD) 14.400 - 14.700
d. suku bunga SUN 10 tahun 7,3 - 9%
e. harga minyak mentah Indonesia (ICP); 90 - 100 USD/barel
f. lifting minyak bumi 650 - 680 ribu barel/hari
g. lifting gas bumi 1.040 - 1.150. setara minyak, ribu barel/hari.
2. Target indikator kesejahteraan:
a. tingkat kemiskinan 7,5 - 8,5%
b. ingkat Pengangguran Terbuka 5,3 - 6%
c. Rasio Gini 0,375 - 0,378
d. Indeks Pembangunan Manusia 73,3 - 73,4
e. Nilai tukar petani 105 - 107
f. Nilai tukar nelayan 107 - 108.
3. Pendapatan negara berkisar Rp2.296,64 hingga Rp2.507,8 triliun, yang terdiri dari penerimaan penerimaan perpajakan berkisar Rp1.936,14 hingga Rp2.050,58 triliun; penerimaan negara bukan pajak Rp385,5 hingga 455,22 triliun; dan penerimaan hibah Rp2 triliun.
4. Belanja negara berkisar Rp2.829,8 hingga Rp3.116,88 triliun yang terdiri dari belanja pusat Rp2.019,9 hingga Rp2.276,6 triliun, transfer ke daerah dan desa Rp809,9 hingga Rp840,73 triliun.
5. Defisit berkisar: 2,85% PDB.
6. Pembiayaan:
a. SBN netto???: Rp600,8 hingga Rp902,2 triliun
b. Investasi netto??: Rp65,6 hingga Rp205,0 triliun
c. Rasio utang terhadap PDB?: 40,58 hingga 42,35% PDB